Kamis, 10 September 2009

makin tua...


Tua-tua keladi..makin tua makin jadi..
Itulah separuh umpama untuk bumi hari ini. Fisik seperti jompo yang sepuh namun jiwa bak gagahya hercules atau bahkan arcala yang marah dgn segala kecemburuan. Takdir bukanlah alasan untuk sains tetap melakukan percobaan. Namun kenyataan, sebuah zat maha kuat sanggup membuat bumi berteriak begitu pekak. Mengujam inti dasar dan menggunakan ini menjadi sebuah teguran. Di mana2. Entah di Aceh ataupun Jogja.

Tua-tua keladi, makin tua makin ambisi..
Bagus jika hasil bumi tergali oleh tangan2 bertanggung jawab untuk dibagi. Namun jika pencuri datang dan mengakui budaya dan seni, atau pulang dgn nyanyian bangga yg dibawa dari negri tetangga, pasti harus dibasmi dan dimurka. Pangkat apa yang membuatnya berani melucuti garuda? Titah apa yg menyuruhnya bangga mengaku truly asia? Mengaku kuasa, namun hanya asa. Seharusnya malu, hanya untuk memenuhi ambisi semata.

Tua-tua keladi..makin tua makin dibenci..
Perebutan kursi dan banyak2an promosi. Dgn janji yang segunung namun bukti yang terpasung. Kemiskinan menaun, kesejahteraan tertimbun. Omong kosong yang dijunjung. Belum lagi kepopuleran menjadi salah persepsi. Bukanya beradu drama malah memamerkan bra dan celana. Menciptakan fenomena seolah ingin dinilai lain oleh orang. Dan membuat kabar sejenak pandang sampai akhirnya beberapa fitnah pun terlayangkan. Kasihan. Ataukah...mereka yang hidup oleh hasil tilangan? Ah, pak, tak usah diperpanjang. Damai sajalah...


Tua-tua keladi..makin tua makin berisi..
Yang ini harap dihindari krn akan mengundang sakit jantung dan diabetes melitus. Jaga pola makan anda, perbanyak asupan serat dan olah raga.. (asik..)


(awalnya hanya simpati pd gempa, tapi kok malah keinget semua..hhe..)

banyak bicara!


Berkatalah 'aku lelah'!
Mungkin akan sedikit melegakan kebisinganku akan frase2 busuk mu. Jika memang kau tak lelah, berkatalah 'aku rehat'. Mungkin sedikit membantu nafasku untuk mengalir sempurna. Jika memang ilmu membelamu, tak akan aku sangsikan. Namun bulshit akan semua kecongakan. Ilfil akan pribadi menggagahkan. Hah,dilema. Bubarkan semua paham. Dekonstruksi membuatku gila. Kritik hidup membuatku lupa. Bukan histeris parau manusia yang aku tanya. Hanya sebuah benar yang datang dari surga. Tapi malah kau mendua. Teori big bang menjadi alasan. Bahkan cordova disalahgunakan. Gila!
Cambuk saja aqidah2 aporia yang meraja. Mereka bahkan tak tahu dimana harus mengadukan luka. Sepiring aking atau tahi kerbau menjadi menu pembuka? Sial! Aku tak mau mati seperti Carter.

Lasik menjadi omongan,dan nuklir yang dibanggakan menjadi penebus dosa manusia2 setan. Ingatkah mereka akan Judas yang merela. Bahkan kisas pun pernah mereka baca. Langkah seperti lunglai. Hidup bagai postmodernitas berkepanjangan. Kau hanya menebarkan metafora kebohongan. Tanpa guna hanya ada imanensi retorika. Bongkar linguistik kesalahpahaman dan pulang dengan satu pegangan. Ditambah intuisi bermuka dua dan sufi yang tenoda di Mekah beranda. Aah, lagi2 ak harus berkata deskontruksi membuatku gila!

Hai Ghautama..ajarkan mereka teori kesadaran yg kau usung. Kuharap fenomena sebuah kebangkitan terhapus dari daftar kemustahilan. Tanpa harus berkutat dgn lorong kebosanan yg rindu akan epilog jalan terang.

Senin, 07 September 2009

no where

Jika memang harus bertutur dalam kebisuan
Akan kutarik pita suaraku dan kurentangkan dengan panjang
Jika memang harus berteriak dalam bungkaman
Akan kugigit jemari yang menghalangiku untuk bergerak
Jika aku harus melihat dalam kegelapan
Akan kubakar bola api dan kulumuri dengan luapan emosi
Jika memang harus memahami sesuatu yang kelabu…
Akan aku apakan?

Jumat, 04 September 2009

resensi_SOLILOQUY



KESEDERHANAAN YANG MEWAH....

Mungkin itu yang dapat saya artikan dari perjalanan singkat menikmati Soliloquy. Novel yang awalnya saya kira adalah hanya novel permainan diksi dalam pengungkapan diri dan isi pikiran yang folosofis, ternyata menjadi sebuah cerita cinta yang biasa saya bilang 'cerita cinta bunuh diri!!'. Sempat menarik nafas panjang waktu mencoba menamatinya, hari gini cinta? gumamku. Tapi ternyata, tak sampai 24 jam saya menemukan isi dari aduan cinta sederhana seorang Rimura Arken.


Arken Rimura, yang dulunya bernama Rama Rimura, namanya berubah karena dulu sempat dititipkan pada seorang Jepang oleh orang tuanya, adalah mahasiswa filsafat di Universitas Islam Negeri di Bandung. Pribadinya yang pemerhati namun tertutup membuat kesehariannya selalu diisi dengan pertemuan akrabnya dengan layar komputer, keyboard ataupun sekedar hanya dengan kertas dan pena. Mencurahkan semua pemikiran, perasaan, perdebatan dalam diri, opininya terhadap para pemikir, dosen-dosen filsafat dengan beragam keunikannya, kesehariannya bersama teman-teman satu kontrakannya dan dengan cinta, dengan bahasa yang dalam dan jujur.

Dimulai dari perjalanan panjang masa kecilnya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Keluarganya yang berdiam di Balikpapan tidak pernah mengecap kemewahan ditambah tingkat pendidikan mereka yang rendah. Tak berapa lama juga Ken, panggilannya, ditinggal pergi oleh ayah yang menjadi teladannya karena penyakit komplikasi yang menaun, sampai akhirnya ia harus mengembara ke Bandung dengan bekal yang seadanya karena mendapatkan catatan drop-out dari kampus pertamanya di daerah Surabaya karena terlibat kasus demonstrasi. Misinya hanya satu, dan mulia, melajutkan kuliah.

Kehidupannya di Bandung dijalaninya dengan begitu apa adanya seperti mahasiswa kebanyakan. Tinggal di rumah kontrakan yang seadanya, memiliki base camp tempat berkumpul bersama teman-teman kampusnya, irama Koil serta kesehariannya berteman dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok sebagai luapan segala perasaan yang ia rasakan saat itu. Semua ia tumpahkan pada lembaran catatan puitis yang selalu menjadi pendengar setianya. Hingga kisah cintanya yang tertambat pada Rere, seseorang yang ia sebut dengan sebagai 'perempuan kejora' itu. Mungkin ia menganut paham 'cinta yang terpendam' dengan Rere, namun ia menyebut itu sebagai sebuah 'waktu yang tepat'.

Banyak pemikiran-pemikiran para filsuf yang menjadi pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Mungkin atas dasar ini juga, Ken sering mengulur-ulur waktu untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Rere. Alhasil, hanya surat-surat cinta tak tersampaikan yang ia jadikan pengungkapan rasa cintanya pada gadis itu. Merasakan indahnya pendekatan, keriduan, kecemburuan hingga usaha untuk melupakan, selalu mengisi kegalauan hati yang setiap hari menghantuinya. Sampai keputusan itu datang, Ken mengungkapkan cintanya. Namun tidak juga bisa dipastikan anggapan Ken mengenai waktu yang tepat itu akan sesuai dengan anggapan sang waktu itu sendiri, anggapan terhadap kemungkinan dan anggapan hati seorang perempuan. Rere pun menggantungkan cintanya selama beberapa lama. Hingga lulus kuliah, hingga Ken bekerja sebagai editor sebuah majalah, ia terus saja setia menanti jawaban atas keputusan pengungkapan hatinya itu. Hingga akhirnya kenyataan dari pengungkapan cinta yang telah Ken lakukan dengan berjuta pertimbangan dulu, tidak lain adalah pertanyaan tentang kelanjutan dari sebuah kehidupan, dan jawabannya bukanlah dia yang memilih.

Kebanyakan orang berfikir tentang waktu yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan, termasuk seorang manusia seperti Ken. Namun, ta bisa disangkal bahwa hidup itu adalah misteri. Sebuah rahasia yang tak akan pernah diketahui ujungnya jika memang kita belum mengambil sebuah keputusan, dan memang tak akan pernah ada yang kita miliki sebelum kehilangan. Orang bijak juga bilang, orang yang tak berhasil dalam hidup adalah orang yang tak pernah dapat mengambil keputusan. Kita tidak dapat menentukan sebuah waktu yang tepat dibarengi dengan hasil yang kita inginkan jika kita belum siap menjadi seseorang yang bertangung jawab. Karena sebuah keputusan itu bukanlah berhadapan pada benar atau salah, namun keputusan berhadapan pada tanggung jawab dan komitmen setelah memutuskannya, ada pada diri kita.



Bahasa yang penuh akan pemikiran-pemikiran filosofis, romantis namun ringan, menghantarkan kita dalam dunia lain seorang laki-laki. Ken berhasil membuat gertakan pada hati kita bahwa tentang penghargaan akan sebuah perjalanan hidup. Soliloquy benar-benar menginspirasikan tentang sesuatu yang mengalir dan jujur. Bahwa cinta itu ada, cinta itu tertawa, cinta itu menangis, bermimpi, kecewa, memaksa!. Dan cinta itu adalah sakral dan bukan perhitungan. Mungkin memang tak ada yang abadi di dunia ini kecuali Tuhan, namun cinta yang tulus adalah penghantar dari keabadian itu.

poem_syair emosi



aku melakukan ini untuk diriku sendiri,
tak ada yang bisa melarang apalagi memaki,
karena kutahu diriku, dan diriku tahu mauku,
tangan ini hanya bisa bersaksi, otak ini juga hanya memberi,
apalagi bibir ini, tidak dapat menyalahi,
apalah yang dapat dilakukan seorang 'diri',
dengan semburan api yang bertubi, saat itu menyala,
ia langsung membakar apa yang ada,
tanpa memberi sedikit pun tepi untukmu berdiri,
tak kau rasa perih walaupun setitik,
malah kau melangkah menyusuri,
lalu merasukinya ke dalam kalbu hati yang tak kau pikir nanti,

saat mata terpaling dari nyata,
jiwamu akan mendua,
terbagi nyawa untuk merasakan hawa,
dagumu terangkat dan langkahmu diperlambat,
seakan saja kau mempunyai pangkat, hah?!
adakah yang lain di antaranya, kau berfikir dan membuka mata,
mencari sebuah celah dimana kau dapat serah,

setelah itu kau berkutik,
dari sebuah titik dimana kau pikir itu yang terbaik,
kau mengedip seraya berbisik, seperti menderik,
apa yang kau lakukan di sini, keledai pun tahu kalau lubang harus dilompati,
celanamu kau angkat,bahumu kau sigap,
metamu terbelalak dengan langkah yang siap untuk berangkat,
keledai pun tahu kalu air matu itu terbuang percuma,
tapi kau tetap saja meneteskannya di dalam hati,
di hadapannya dengan diri tanpa arti,

aku suka kau seperti itu,
tahu sejauh apa kau beradu,
memang kau telah jatuh,
tapi tetap kau berjinjit tanpa terdengar menjerit,
kau bekap mulut itu, da kau perban luka itu,
kau ikat nafsu itu dan kau buka jalan itu,
berdiri tegar seperti batu di atas ombak besar dengan kepiting di bawahnya,
mencapit setiap inchi kulit tipisnya..

poem_jakpoem



Jakarta padat, Jakarta menyengat,
Jakarta sesak, Jakarta meluap,
Jakarta hitam, Jakarta gemerlap,
Jakarta klise, Jakarta punya bui,
Jakarta penuh peluh, Jakarta hampir rubuh,

Jakarta bangga, Jakarta hatiku,
Jakarta lampu merah, jakarta berdarah,
Jakarta langit, Jakarta tutup mulutmu!
Jakarta sampah, Jakarta marah!
Jakarta dia lapar, Jakarta mereka terinjak,
Jakarta marjinal, jakarta mendobrak,
Jakarta yang kiri, Jakarta yang kanan,
Jakarta menangis, jakarta bosan!
Jakarta bawah tanah, Jakarta ladang basah,

Jakarta, Jakarta, Jakarta...
Jakarta aku hidup, Jakarta buta!

Selasa, 19 Mei 2009

story_aku hanya pelupa

Bulu kuduk ku berdiri. Sepertinya ada setan putih yang hinggap di tengkuk ku. Aku memutar batang leherku yang kaku. Mengusapnya dengan telapak tanganku yang kasar seperti parutan keju. Ah, gelap sekali ruangan ini. Pengap, seperti otakku yang beku karena telah lama tak terpakai. Kutiupkan hembusan hangat itu dari mulutku, kuakurkan kedua tanganku di depannya. Kuni, lututku yang giliran mengeras. Seperti batu. Aku rasa aku tak bisa meluruskannya, dari lipatan yang tak berubah semanjak semalam.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar lolongan manusia yang meronta. Meminta kemerdekaan atas jiwanya. Membuka dekapan dingin orang-orang waras yang menganggap mereka sebagai kelinci percobaan. Mereka merasa terjerat. Dalam bayangan kosong namun terkadang tergambar. Hanya sepintas. Lalu menghilang lagi.
Seonggok tubuh itu d hadapanku. Tangannya mendekap tubuh dengan wajahnya yang pucat. Seorang lelaki gemuk dengan dajah yang jelek, sangan jelek menurutku. Dan dengan… air mata di pipinya. Dia terpaku di sampingnya. Memaksa tanpa kata dia untuk mengingat kembali.
”Apa kau gendut! Kau tak mengerti apa-apa tentang anakmu.” Gumamku. “ Dia sedih melihatmu menerima uang dari mucikari sialan itu. Kau pergi dengan dagu yang terangkat dan di belakangmu, terjadi pengundian keperawanan anakmu.”
Aku melihat gadis itu tersenyum padaku. Dia senang aku membelanya, karena tak seorang pun berpihak padanya. Termasuk dia, yang berani memanggil dirinya sendiri “mantan jalang”. Dan untungnya aku masih mengingat apa yang kau ceritakan tadi malam, nak. Walau hanya lewat tatapan kosong.
“Kau dokter kan?” suara itu memalingkanku ke sudut ruangan. Seorang wanita dengan rambut ikal berantakan tertunduk di bangku kayu sambil mengusap perutnya.
“Hei, kau dokter bukan? Kau memberitahuku seminggu yang lalu kalau kau adalah dokter spesialis kandungan.”
………………. “Lalu, kenapa?”
“Kau tahu bagaimana caranya mengembalikan mayat bayi ke dalam perut? Aku masih ingin bersama anak ku.” rengeknya.
“A…aku…aku tidak tahu…”
“Ah! Apa bisamu? Menangis?”
“Eh…aku…..aku bukan dokter…”
“Apa? Kenapa kau?”
“Aku…kenapa aku…tak ingat apa-apa?”
“Ah, alas an basi. Hanya untuk mendapatkan pembelaan. Bilang saja kau dokter yang tak bisa apa-apa. Kerjaanmu hanya menghabisi nyawa orang saja.”
“Bicara apa kau?!”
“Jangan berkelit. Pembunuh..”
………………………………………….
Ah…mataku berputar lagi.
Kini tubuhku menggigil. Jariku tak bisa digerakkan. Kenpa kau ….menjadi banyak? Mereka berpendar! Gama! Aku berpaling ke mantan jalang itu. Dahinya berkerenyit. Aku mendengar suara. “Anda kenapa, bu dokter?” tanyanya singkat.
Lalu suara itu bertambah banyak. Seperti memburuku. Menanyakan hal yang sama dalam waktu yang sama pula. Serempak, hanya satu kata. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?” seperti semua mengkhawatirkan aku.
Sejenak aku tersadar. Tidak semua. Satu orang tertawa sinis. Apa dia tidak suka padaku? Apa karena aku tidak bisa membantu memasukan bayinya kembali ke dalam perutnya?
“Aku lucu melihatmu. Kau orang paling pelupa di tempat ini. Kau lulusan luar negeri wanita cantik! Tapi otakmu ternyata tak dididik untuk menyimpan kenangan”. Suara parau. Matanya masih menatapku sinis.
“Aku…..aku lupa….tolong bantu aku.” Dalam bibir yang tertutup rapat dan lutut yang terlipat erat, air mataku mengalir. Kepalaku sakit, seperti ada mesin pabrik yang menyala di dalamnya.
Wajah pucat itu, semakin dingin. Lama...lama... kini dia tertawa tinggi!
“Aku kasihan melihatmu, Sya. Hanya ada satu yang menyelubungi masa lalumu.”
”Apa?” tanyaku tak sabar. ”Bantu aku mengingatnya! Aku bahkan tak tahu namaku, sampai tadi kau memanggilku dengan sebutan.. Sya...”
Perlahan dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celana pendeknya. Dan dengan mudah ia melemparnya ke hadapanku. Potongan cermin.
”Goreskan itu ke tanganmu. Tak akan terasa sakit.”
Sekejap mata. Iya. Tak terasa sakit. Tapi... Lalu apa?”
”Itu masa lalumu, Sya. Darah!”
Darah? Aku? Aku darah? Aku siapa? Hkkz....

4 April 1980

Aku kira ini akan menjadi liburan yang menyenangkan. Tapi, iya pada awalnya. Ayah terlihat tampan dengan rambut yang klimis. Walau matanya terlihat lelah sehabis pulang mengoperasi pasien semalam, tapi ia sempatkan menyebarkan senyum kepada anak-anaknya pagi itu. Termasuk aku, Asya. Anak terakhir dari keluarga bahagia ini. Aku ingat.
Aku ingat, ibuku seorang pelukis. Dia baru saja mengadakan pameran lukisan di Jakarta seminggu yang lalu. Ayahku dokter yang selalu tidak punya jam kerja. Kakak ku... kakak ku... Aku mempunyai 3 orang kakak. 1 laki-laki dan 2 orang perempuan. Yang pertama...ah, aku tidak ingat. Yang pasti semua wajahnya mirip dengan ibu. Cantik Oh iya, mereka semua juga dokter. Aku ingat.
Siang itu, ayah dengan gagah duduk di kursi pesawat. Di sampingnya seorang lelaki. Mmmm, ya itu kakak ku. Aku di belakanya, di samping ibu. Kakak ku yang lain, sibuk denganurusan masing-masing. Mengobrol tanpa henti. Sampai-sampai aku tak tahu dimana mereka rehat sejenak untuk mengambil nafas.
Kata ibu ku, kami akan pergi ke Medan. Tempat ia dulu menghabiskan masa kecilnya. Langit siang itu sangat padat dengan awan. Putih semua. Aku bayangkan diriku adalah gadis cupid kecil yang hendak kembali ke rumahnya, di awan.
Aku sangat senang, duduk di samping ibu sampai kaki ku tak henti-hentinya aku goyang-goyangkan naik turun di kursi pesawat. Wajah ibu begitu lugu. Sepertinya dia juga senang duduk di sampingku. Dia juga bilang akan bercerita banyak kepadaku. Iya ibu, aku akan mendengar ceritamu sampai habis.
Kusandarkan bahuku di jok burung terbang ini. Nyaman. Kututup mataku dan kubayangkan hal yang indah-indah pada saat mendarat nanti di Polonia. Mungkin aku akan bertemu para sepupuku, yang belum pernah sekalipun ku lihat.
Tapi, tiba-tiba aku terbangun. Bahuku terguncang. Aku pikir ibu membangunkan aku kerna posisi tidurku yang tak benar. Tapi tidak, ternyata semua orang juga merasakan hal yang sama. Semua orang terguncang. Semua orang menjerit dan pontang-panting kembali ke joknya masing-masing. Aku melihat ibu dengan panik mengencangkan sabuk pengamanku. Sangat kencang hingga perutku sakit. Suara lembut yang aku rasa juga ketakutan, tiba-tiba terdengar. Dia menyuruh semua penumpang untuk tidak panik dan kembali ke tempat duduknya. Yah, terlambat. Semua telah panik dan menjerit. Kecuali aku. Aku benar-benar bingung, harus apa? Menangis kah? Ikut menjerit kah? Atau tidur saja sampai keadaan semua aman?
Tanganku terasa hangat.
Ternyata genggamanku tergenggam lagi. Tangan ibu. Dibalik wsjsh pucatnya, ia tersenyum padaku. Sekilas kupandang. Membuatku tenang.
Hkkzz!!
Semua gelap.
Pelukan Ibu terasa. Erat sekali hingga dadaku sesak. Dunia berputar atau entah apa.
Mataku terpejam. Tak melekukan apa-apa. Yang aku lakukan hanya berhitung. 1 hingga 10. Begitu seterusnya. Teriakan-teriakan itu histeris. Dalam hitungan terakhir, menjadi sepi. Oh tidak, sepi setelah sebuah ledakkan keras yang melonggarkan pelukan Ibu di tubuhku.
Semua hening tanpa suara. Yang kudengar hanya detak jantungku yang berdegup sangat kencang. Tak lam, suara isak tangisku. Ya..aku ingat aku menangis. Kakiku sakit sekali saat itu. Terhimpit sebuah benda yang sepertinya menembus kulit tipisku. Dan tangan ibu, tak menggenggamku lagi.
Aku membuka mata. Gelap. Aku berkedip, kini nanar. Aku masih mennagis. Ibu...dalam hati. Bau ibu masih ada. Tapi, kini amis...
Ibu tertidur di hadapanku dengan wajah yang berdarah. Ayah terdudur di sampingku dengan wajah yang berdarah. Kakak terbaring di sampingku dengan mulut yang berdarah. Kakak yang lain menjauh dariku dengan...apa itu? Tangan yang berdarah? Itu seperti tangan, tapi mengapa terpisah dari tubuhnya?
Semua berdarah. Semua tertidur. Hanya aku yang menangis....


21 Oktober 2005

....mungkin....seingat aku...
Jubah putih. Tas kerja. Bayangan itu ada di cermin ruang tamu ku setelah aku menguci rapat sedan hitamku. Bayanganku akan sebuah meja dengan susunan lilin yang menyala, terus terngiang tanpa henti. Disambut dengan gelak tawa anankku... Orel, seingat aku itu namanya, dan kecupan suamiku. Tapi aku lupa namanya.
2 minggu aku dinas ke Singapura. Hanya ikut seminar dan kunjungan pembukaan rumah sakit baru. Kerinduan begitu mendalam. Bahkan aku berjanji membelikan viagra impor dari Singapura. ”Love u forever.” SMS terakhir dia, saat aku nyalakan kembali ponselku selepas turun dari pesawat. Dia...ah, aku masih lupa namanya, lelaki yang tidak bisa aku lupkan dalam hidupku. Dia melamarku di depan semua rekan kerjaku. Di depan semua pasienku. Bahkan di depan mayat-mayat yang tertidur tenang di kamar sebelah. Semua bertepuk tangan dan memaksaku untuk menerimanya. Ah...aku ingat. Ini memang kenangan yang indah. Ia menyematkan cincin di jariku. Menariknya lalu mengecup lembut tanganku. Aku ingat, wajahku memerah. Pernikahan pun terjadi. Orang-orang begitu banyak dengan lonceng gereja yang berteriak kegirangan. Ia menciumku. Mencium bibirku untuk pertama kalinya. Setelah itu... Tak lama Orel lahir... Ya anakku prematur. Hanya 7 bulan dalam kandungan. Tapi untungnya dia sehat karena ASI ku tak berhenti mengalir selama 2 tahun lebih.
Hhh... kini dia sudah besar. Dan siap menyambutku di depan kamarnya.
”Sayang...kamu dimana?” Aku melihat jam, setengah 11 malam. Mungkin di asudah tidur di atas.
Aku menaiki tangga perlahan. Tak sabar, aku ingin memberinya kejutan mini robot X-men. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamarku sendiri. Suamiku juga pasti telah menunggu di dalam.
Aku ingat....aku tidak mengetuknya. Kubuka perlahan...perlahan....Apa ini?
Cairan. Seperti darah yang bercampur air berceceran di sekitar seprai yang berantakkan. Jantungku langsung memberontak. Mulutku kaku tanpa kata-kata.Kujatuhkan tas kerja dan koper itu, dan kulihat di akeluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Maksudku, mereka....
Kami terdiam. Terpaku. Saling bertatapan dingin. Menunggu siapa yang akan menjelaskan ini terlebih dahulu. Tanpa berfikir panjang, kulempar asbak penuh puntung rokok yang tergeletak tak jauh dari tanganku ke wajah wanita itu. ”Jalaaang!” teriakku parau.

”Dia mengigau. Tekanan darahnya tak stabil. Tenangkan dia.”

Suara itu terdengar samar. Tapi tak aku pedulikan.
Kulanjutkan ingatanku...
Sampai mana tadi? Aku bahkan tidak ingat.
Yang kutahu, aku berada dalam pesawat, lalu... bukan! Aku berada di kamarku. Setelah menaiki tangga dan mencium suamiku. Tidak, aku tidak menciumnya. Tapi aku mencabut pisau buah dan menancapkan ke tengah dadanya...
Aku membunuhnya!
Apa iya?
Mungkin saja, karena kini tubuhnya terbujur kaku di pangkuanku.
Yang aku ingat. Aku tidak menangis. Tapi mengapa ada isakan tangis yang muncul dari sela pintu.
Orel?
Air matanya mengalir deras. Tubuh kecilnya gemetar dan bibirnya bergerak tipis mengucapkan kata ”mama...”
Spontan aku berdiri dengan baju yang berlumuran darah.
”Sayang....mama.....”
Ia berbalik. Lalu berlari. Kakiku bergerak, beranjak untuk mengejarnya. Baru separuh jalan, aku di ambang pintu. Dia telah berlari terlalu jauh. Jaud... dan kini terbujur di bawah tangga dengan wajah yang berdarah.
Nafasku tertahan.
Semua terdiam. Semua tertidur. Orel...suamiku (yang namanya masih aku lupa)...wanita jalang itu.... Semua berdarah. Semua tertidur. Hanya aku yang menangis....

Bising sekali ruangan ini.
Orang-orang berseragam putih mengitariku. Menatapku dengan aneh dan beberapa yang lain menjamah dada dan perutku seenak hatinya.
Dari mana aku? Aku merasa lelah sekali.
Tubuhku, otakku. Seperti mesin pabrik yang dinyalakan seharian tanpa istirahat.
”Kau...kau...sudah...sudah...sadar...sadar...?” suara itu terdengar menggema. Aku jawab ya, dalam hati. ”Tenang, pendarahan di tanganmu sudah terhenti. Lain kali, berhati-hatilah dengan pecahan cermin, itu tajam Asya....”
Asya? Namaku Asya? Aku bahkan belum ingat kalau namaku Asya. Tapi dia mengingatkan aku. Pecahan cermin? Aku ingat sedikit. Tanganku. Aku ingat aku menggores nadiku sendiri. Dan aku tidak sadrkan diri.
Tapi, aku ingat semuanya. Mungkin hampir semuanya, bukan semuanya.
Ayah, ibu, kakak, kakak, kakak, suamiku, Orel, wanita jalang itu, semuanya berdarah.
Aku di sini karena mereka. Aku, dr.Asya. Spesialis kandungan lulusan Jerman.
Aku wanita yang pintar, cantik, hanya sedikit pelupa. Tapi aku juga seorang pembunuh.
Dan aku...aku ingat sekarang...
Aku wanita cantik yang gila... Gangguan jiwa. Karena itu... Ya, Aku ingat sekarang. Aku gila.