Kamis, 10 September 2009

makin tua...


Tua-tua keladi..makin tua makin jadi..
Itulah separuh umpama untuk bumi hari ini. Fisik seperti jompo yang sepuh namun jiwa bak gagahya hercules atau bahkan arcala yang marah dgn segala kecemburuan. Takdir bukanlah alasan untuk sains tetap melakukan percobaan. Namun kenyataan, sebuah zat maha kuat sanggup membuat bumi berteriak begitu pekak. Mengujam inti dasar dan menggunakan ini menjadi sebuah teguran. Di mana2. Entah di Aceh ataupun Jogja.

Tua-tua keladi, makin tua makin ambisi..
Bagus jika hasil bumi tergali oleh tangan2 bertanggung jawab untuk dibagi. Namun jika pencuri datang dan mengakui budaya dan seni, atau pulang dgn nyanyian bangga yg dibawa dari negri tetangga, pasti harus dibasmi dan dimurka. Pangkat apa yang membuatnya berani melucuti garuda? Titah apa yg menyuruhnya bangga mengaku truly asia? Mengaku kuasa, namun hanya asa. Seharusnya malu, hanya untuk memenuhi ambisi semata.

Tua-tua keladi..makin tua makin dibenci..
Perebutan kursi dan banyak2an promosi. Dgn janji yang segunung namun bukti yang terpasung. Kemiskinan menaun, kesejahteraan tertimbun. Omong kosong yang dijunjung. Belum lagi kepopuleran menjadi salah persepsi. Bukanya beradu drama malah memamerkan bra dan celana. Menciptakan fenomena seolah ingin dinilai lain oleh orang. Dan membuat kabar sejenak pandang sampai akhirnya beberapa fitnah pun terlayangkan. Kasihan. Ataukah...mereka yang hidup oleh hasil tilangan? Ah, pak, tak usah diperpanjang. Damai sajalah...


Tua-tua keladi..makin tua makin berisi..
Yang ini harap dihindari krn akan mengundang sakit jantung dan diabetes melitus. Jaga pola makan anda, perbanyak asupan serat dan olah raga.. (asik..)


(awalnya hanya simpati pd gempa, tapi kok malah keinget semua..hhe..)

banyak bicara!


Berkatalah 'aku lelah'!
Mungkin akan sedikit melegakan kebisinganku akan frase2 busuk mu. Jika memang kau tak lelah, berkatalah 'aku rehat'. Mungkin sedikit membantu nafasku untuk mengalir sempurna. Jika memang ilmu membelamu, tak akan aku sangsikan. Namun bulshit akan semua kecongakan. Ilfil akan pribadi menggagahkan. Hah,dilema. Bubarkan semua paham. Dekonstruksi membuatku gila. Kritik hidup membuatku lupa. Bukan histeris parau manusia yang aku tanya. Hanya sebuah benar yang datang dari surga. Tapi malah kau mendua. Teori big bang menjadi alasan. Bahkan cordova disalahgunakan. Gila!
Cambuk saja aqidah2 aporia yang meraja. Mereka bahkan tak tahu dimana harus mengadukan luka. Sepiring aking atau tahi kerbau menjadi menu pembuka? Sial! Aku tak mau mati seperti Carter.

Lasik menjadi omongan,dan nuklir yang dibanggakan menjadi penebus dosa manusia2 setan. Ingatkah mereka akan Judas yang merela. Bahkan kisas pun pernah mereka baca. Langkah seperti lunglai. Hidup bagai postmodernitas berkepanjangan. Kau hanya menebarkan metafora kebohongan. Tanpa guna hanya ada imanensi retorika. Bongkar linguistik kesalahpahaman dan pulang dengan satu pegangan. Ditambah intuisi bermuka dua dan sufi yang tenoda di Mekah beranda. Aah, lagi2 ak harus berkata deskontruksi membuatku gila!

Hai Ghautama..ajarkan mereka teori kesadaran yg kau usung. Kuharap fenomena sebuah kebangkitan terhapus dari daftar kemustahilan. Tanpa harus berkutat dgn lorong kebosanan yg rindu akan epilog jalan terang.

Senin, 07 September 2009

no where

Jika memang harus bertutur dalam kebisuan
Akan kutarik pita suaraku dan kurentangkan dengan panjang
Jika memang harus berteriak dalam bungkaman
Akan kugigit jemari yang menghalangiku untuk bergerak
Jika aku harus melihat dalam kegelapan
Akan kubakar bola api dan kulumuri dengan luapan emosi
Jika memang harus memahami sesuatu yang kelabu…
Akan aku apakan?

Jumat, 04 September 2009

resensi_SOLILOQUY



KESEDERHANAAN YANG MEWAH....

Mungkin itu yang dapat saya artikan dari perjalanan singkat menikmati Soliloquy. Novel yang awalnya saya kira adalah hanya novel permainan diksi dalam pengungkapan diri dan isi pikiran yang folosofis, ternyata menjadi sebuah cerita cinta yang biasa saya bilang 'cerita cinta bunuh diri!!'. Sempat menarik nafas panjang waktu mencoba menamatinya, hari gini cinta? gumamku. Tapi ternyata, tak sampai 24 jam saya menemukan isi dari aduan cinta sederhana seorang Rimura Arken.


Arken Rimura, yang dulunya bernama Rama Rimura, namanya berubah karena dulu sempat dititipkan pada seorang Jepang oleh orang tuanya, adalah mahasiswa filsafat di Universitas Islam Negeri di Bandung. Pribadinya yang pemerhati namun tertutup membuat kesehariannya selalu diisi dengan pertemuan akrabnya dengan layar komputer, keyboard ataupun sekedar hanya dengan kertas dan pena. Mencurahkan semua pemikiran, perasaan, perdebatan dalam diri, opininya terhadap para pemikir, dosen-dosen filsafat dengan beragam keunikannya, kesehariannya bersama teman-teman satu kontrakannya dan dengan cinta, dengan bahasa yang dalam dan jujur.

Dimulai dari perjalanan panjang masa kecilnya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Keluarganya yang berdiam di Balikpapan tidak pernah mengecap kemewahan ditambah tingkat pendidikan mereka yang rendah. Tak berapa lama juga Ken, panggilannya, ditinggal pergi oleh ayah yang menjadi teladannya karena penyakit komplikasi yang menaun, sampai akhirnya ia harus mengembara ke Bandung dengan bekal yang seadanya karena mendapatkan catatan drop-out dari kampus pertamanya di daerah Surabaya karena terlibat kasus demonstrasi. Misinya hanya satu, dan mulia, melajutkan kuliah.

Kehidupannya di Bandung dijalaninya dengan begitu apa adanya seperti mahasiswa kebanyakan. Tinggal di rumah kontrakan yang seadanya, memiliki base camp tempat berkumpul bersama teman-teman kampusnya, irama Koil serta kesehariannya berteman dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok sebagai luapan segala perasaan yang ia rasakan saat itu. Semua ia tumpahkan pada lembaran catatan puitis yang selalu menjadi pendengar setianya. Hingga kisah cintanya yang tertambat pada Rere, seseorang yang ia sebut dengan sebagai 'perempuan kejora' itu. Mungkin ia menganut paham 'cinta yang terpendam' dengan Rere, namun ia menyebut itu sebagai sebuah 'waktu yang tepat'.

Banyak pemikiran-pemikiran para filsuf yang menjadi pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Mungkin atas dasar ini juga, Ken sering mengulur-ulur waktu untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Rere. Alhasil, hanya surat-surat cinta tak tersampaikan yang ia jadikan pengungkapan rasa cintanya pada gadis itu. Merasakan indahnya pendekatan, keriduan, kecemburuan hingga usaha untuk melupakan, selalu mengisi kegalauan hati yang setiap hari menghantuinya. Sampai keputusan itu datang, Ken mengungkapkan cintanya. Namun tidak juga bisa dipastikan anggapan Ken mengenai waktu yang tepat itu akan sesuai dengan anggapan sang waktu itu sendiri, anggapan terhadap kemungkinan dan anggapan hati seorang perempuan. Rere pun menggantungkan cintanya selama beberapa lama. Hingga lulus kuliah, hingga Ken bekerja sebagai editor sebuah majalah, ia terus saja setia menanti jawaban atas keputusan pengungkapan hatinya itu. Hingga akhirnya kenyataan dari pengungkapan cinta yang telah Ken lakukan dengan berjuta pertimbangan dulu, tidak lain adalah pertanyaan tentang kelanjutan dari sebuah kehidupan, dan jawabannya bukanlah dia yang memilih.

Kebanyakan orang berfikir tentang waktu yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan, termasuk seorang manusia seperti Ken. Namun, ta bisa disangkal bahwa hidup itu adalah misteri. Sebuah rahasia yang tak akan pernah diketahui ujungnya jika memang kita belum mengambil sebuah keputusan, dan memang tak akan pernah ada yang kita miliki sebelum kehilangan. Orang bijak juga bilang, orang yang tak berhasil dalam hidup adalah orang yang tak pernah dapat mengambil keputusan. Kita tidak dapat menentukan sebuah waktu yang tepat dibarengi dengan hasil yang kita inginkan jika kita belum siap menjadi seseorang yang bertangung jawab. Karena sebuah keputusan itu bukanlah berhadapan pada benar atau salah, namun keputusan berhadapan pada tanggung jawab dan komitmen setelah memutuskannya, ada pada diri kita.



Bahasa yang penuh akan pemikiran-pemikiran filosofis, romantis namun ringan, menghantarkan kita dalam dunia lain seorang laki-laki. Ken berhasil membuat gertakan pada hati kita bahwa tentang penghargaan akan sebuah perjalanan hidup. Soliloquy benar-benar menginspirasikan tentang sesuatu yang mengalir dan jujur. Bahwa cinta itu ada, cinta itu tertawa, cinta itu menangis, bermimpi, kecewa, memaksa!. Dan cinta itu adalah sakral dan bukan perhitungan. Mungkin memang tak ada yang abadi di dunia ini kecuali Tuhan, namun cinta yang tulus adalah penghantar dari keabadian itu.

poem_syair emosi



aku melakukan ini untuk diriku sendiri,
tak ada yang bisa melarang apalagi memaki,
karena kutahu diriku, dan diriku tahu mauku,
tangan ini hanya bisa bersaksi, otak ini juga hanya memberi,
apalagi bibir ini, tidak dapat menyalahi,
apalah yang dapat dilakukan seorang 'diri',
dengan semburan api yang bertubi, saat itu menyala,
ia langsung membakar apa yang ada,
tanpa memberi sedikit pun tepi untukmu berdiri,
tak kau rasa perih walaupun setitik,
malah kau melangkah menyusuri,
lalu merasukinya ke dalam kalbu hati yang tak kau pikir nanti,

saat mata terpaling dari nyata,
jiwamu akan mendua,
terbagi nyawa untuk merasakan hawa,
dagumu terangkat dan langkahmu diperlambat,
seakan saja kau mempunyai pangkat, hah?!
adakah yang lain di antaranya, kau berfikir dan membuka mata,
mencari sebuah celah dimana kau dapat serah,

setelah itu kau berkutik,
dari sebuah titik dimana kau pikir itu yang terbaik,
kau mengedip seraya berbisik, seperti menderik,
apa yang kau lakukan di sini, keledai pun tahu kalau lubang harus dilompati,
celanamu kau angkat,bahumu kau sigap,
metamu terbelalak dengan langkah yang siap untuk berangkat,
keledai pun tahu kalu air matu itu terbuang percuma,
tapi kau tetap saja meneteskannya di dalam hati,
di hadapannya dengan diri tanpa arti,

aku suka kau seperti itu,
tahu sejauh apa kau beradu,
memang kau telah jatuh,
tapi tetap kau berjinjit tanpa terdengar menjerit,
kau bekap mulut itu, da kau perban luka itu,
kau ikat nafsu itu dan kau buka jalan itu,
berdiri tegar seperti batu di atas ombak besar dengan kepiting di bawahnya,
mencapit setiap inchi kulit tipisnya..

poem_jakpoem



Jakarta padat, Jakarta menyengat,
Jakarta sesak, Jakarta meluap,
Jakarta hitam, Jakarta gemerlap,
Jakarta klise, Jakarta punya bui,
Jakarta penuh peluh, Jakarta hampir rubuh,

Jakarta bangga, Jakarta hatiku,
Jakarta lampu merah, jakarta berdarah,
Jakarta langit, Jakarta tutup mulutmu!
Jakarta sampah, Jakarta marah!
Jakarta dia lapar, Jakarta mereka terinjak,
Jakarta marjinal, jakarta mendobrak,
Jakarta yang kiri, Jakarta yang kanan,
Jakarta menangis, jakarta bosan!
Jakarta bawah tanah, Jakarta ladang basah,

Jakarta, Jakarta, Jakarta...
Jakarta aku hidup, Jakarta buta!