Rabu, 22 April 2009

aku wanita dengan satu anak

Kurasakan hari ini mood ku agak sedikit terganggu. Kubuka kalender, kuhitung hari dan prediksi, tak kudapatkan angka pasti kapan aku kedatangan tamu bulanan. Sepanjang hari aku berjalan keluar masuk kamar mandi hingga kurelakan para pelanggan menunggu terlalu lama hanya untuk memastikan kalau vaginaku tak mengeluarkan darah kotor itu. Aku tak peduli mandor roti itu memperhatikan tingkah ku yang terbilang sedikit songong siang itu. Tapi justru ketidakpedulian ku tersebutlah yang membuatku dapat melangkah menyusuri trotoar hitam di siang bolong seperti ini. Aku dipulangkan hari ini.
Ponsel ku tak henti bergetar dari dalam saku jaketku. Awalnya kulihat nama pengusaha muda itu muncul di layar datarnya. Aryo namanya. Dia tampan, mapan, baik, dari keturunan maupun dirinya. Maaf, dalam hatiku menjawab. Bukan aku tak menghormatimu dengan tak menjawab teleponmu. Tapi aku takut mengecewakanmu. Kau terlalu baik selama ini. Hanya untuk aku, seorang wanita dengan satu anak.Kali ini getaran itu pendek. Kuberanikan diri untuk mengelurkannya dari dalam saku. 7 missed call, 1 message Hanya itu yang dia kirim. Kutarik nafas panjang, dan ku ikhlaskan jemariku bergerak. “paling tidak untuk saat ini.”

Dari jauh kulihat aspal itu terbakar. Atap mobil seakan fatamorgana mesin uap yang menyala. Mataku terpicing. Kulit tanganku terbakar. Benar-benar ku khawatiri flek hitam yang terus menjadi di rona merah wajahku yang semakin menua. Aku takut bernafas dalam debu, takut-takut bronchitis itu kembali datang dan mengganggu hidupku lagi. Langsung kuselubungi mulut dan hidungku dengan kedua telapak tanganku yang mencembung.

“Tisu, Bu?” sapa seorang anak kecil di samping kananku.

Aku terdiam seketika. Tak menjawab, hanya menatapnya dalam panasnya udara Jakarta.

“Tisunya, Bu? Mau beli?” tanyanya lagi lebih tegas.

Tanpa ekspresi, aku menggeleng.

Kuperhatikan langkah kecilnya melangkah menjauhiku. Tingginya hanya seukuran pinggangku. Kulitnya hitam kering terbakar matahari. Rambutnya berdebu seperti kemoceng di toko roti tempatku bekerja. Tiba-tiba sekelumit memoar terlintas di pikiranku. Seorang bocah kecil berlarian di dalam rumah. Tubuhnya kurus, melebihi anak jalanan itu. Hanya saja dia putih. Wajahnya kecil dengan rambut hitamnya yang tipis. Terkadang ia tertawa, bahunya bergetar dengan tulang sela yang menyimbul tajam. Sering kali kuselipkan kedua telapak tangannya di dalam ketiakku. Dia sering menggigil, bibirnya sangat pucat jika terbangun dini hari.

Dia Fahim, anakku. Umurnya baru 5 tahun. Tapi tubuh ringkuhnya tak membuat orang berfikiran hal yang sama dengan kenyataan. Ibuku sering bilang kalau Fahim tak berbeda dengan anak lainnya. Dia hanya perlu sedikit perhatian yang lebih. Sedikit perlakuan yang lebih manusiawi. Dan sedikit kesediaan Tuhan untuk memperpanjang umurnya. Hanya sedikit. Tapi perlu usaha yang besar untuk mendapatkannya.

# # #

Saat itu hujan besar saat aku melahirkannya. Tapi, tak terasa. Karena aku di dalam sebuah ruangan besar, dengan kabel-kabel yang menempel entah seberapa banyak di tubuhku. Oksigen itu juga terasa terlalu kencang berhembus masuk ke hidungku. Aku hanya menatap langit-langit. Dengan jemari yang erat menggenggam sebuah tangan hangat yang sedari dulu telah ku kenal. Tangan ibu.

Perutku terasa begitu kaku. Mataku saja begitu berat untuk berkedip. Tak terpikirkan apa yang akan ditanya bayi ini nanti jika telah menginjak dunia. Apa aku sanggup mendengarnya? Apa dia benar akan menanyakannya? Kukuatkan hatiku menerima kenyataan. Tidak usah nanti, beberapa saat lagi setelah tangisan itu terdengar, wanita bertopi putih dan berparas sayu itu akan bertanya, dimana bapaknya?

Bu, biarkan cairan heroin itu menembus masuk meracuni darahku. Lelapkan aku pada kelam ketenangan sesaat yang kadang kupinta akan selamanya. Aku ingat air mataku menetes mengaliri pipi. Kurasakan sesuatu mengusapnya lembut. Kuharap itu dia. Dia yang selama ini menjadi bayangan gelap dalam selubung mimpiku. Aku yakin, dia tahu.

28 Juli 2004…

Samar terlihat detik di hadapanku berjalan.

Tuhan…..

Mengapa kau hidupkan aku lagi?

“Sayang…” Bisikan itu lembut di samping telingaku. Ia tersenyum. Menampakkan kedua matanya yang hangat. Dahinya mengerenyit. Sekali lagi ia tersenyum… dan meletakkan jemarinya yang dingin ke dadaku… hati kami saling bicara…

Mengapa kau tak ada saat itu?

Aku ada sayang.

Aku tak melihatmu.

Tapi aku tahu kau merasakanku. Aku mendengar tangisannya. Bawa dia di rerumputan pagi hari, dia akan cepat berjalan.

Kau…

Jangan bilang aku jahat. Aku mencintaimu sayang. Jaga dia…

“Karin….” Suara itu memecah keheningan. Aku menoleh.

Seorang wanita tua melangkah pelan dengan gendongan bayi kecil tak bergerak. Kecil sekali hingga wajahnya saja sulit untuk terlihat.

Ibu menyodorkannya kepadaku. Kedua tanganku tak terasa kuat untuk meraihnya. Begitu berat saat kulihat garis matanya terlelap dalam. Bibirnya basah menyambul kecil seperti pentil jambu. Dia masih merah. Kulitnya masih sangat tipis. Aku mendekatkan hidungku ke dahinya. Dia anakku.

“Apakah dia menangis, Bu?”

Ibu mengangguk.

Bagus, berarti dia sehat.

“Aku ingin lihat tubuhnya, Bu.”

Ibu menyodorkan kembali padaku. Tapi dengan cepat aku menggeleng.

Perlahan Ibu buka selimut tebal yang menyelubunginya. Detak jantungku menderu lembut namun cepat di dalam dadaku saat kulihat kesempurnaan tubuh mungil itu. Aku tertawa lembut. Senyumku terkembang sesaat kurasakan mataku basah.

Dengan cepat kuraih dia dalam pelukanku. Dia hangat. Masih berbau dan tipis. Kukecup bibir kecilnya, dia menggeliat. Oh Tuhan, ia terlalu sempurna untukku.

ASI? Iya, aku harus memberinya ASI. Bagaimana caranya? Aku menengadah meminta petunjuk Ibu. Wajahku sumringah penuh harap bertanya. Tapi, sayang, tak kudapatkan jawaban itu darinya. Terlebih, wajahnya menambahkan beban pertanyaan yang juga harus terjawab. Ibu menangis.

“Kenapa, Ibu?”

Ia menggeleng, “Tidak. Sekarang berilah dia ASI, nak.”

# # #

Malam ini Ibuku bercerita kalau Aryo datang tiba-tiba dan menungguku seharian di rumah. Dia tidak ke kantor hari ini. Mungkin merasa bersalah karena dia tidak datang saat Fahim dirawat karena trombositnya menurun. Kanker itu telah memenjarakannya. Anakku terpenjara.

Sambil menghabiskan semangkuk sup yang ada di hadapanku, aku mengangguk dan mendengarkan saja Ibuku bercerita. Tak ada satupun yang aku tanggapi. Tapi entah mengapa Ibu terus saja berkata tanpa merasa kalau anak satu-satunya ini nanti akan menyakiti hatinya.

Setelah berapa lama, Ibu terdiam. Wajah lelah itu terus saja memancarkan senyum bijaknya. Seperti ingin berkata, lihatlah aku nak.

Ya bu, aku akan menatapmu. Tapi apakah tatapan ini akan berarti jika nantinya aku akan menyakitimu? Aku tidak mencintainya, Bu.

“Nanti akan aku telepon dia.”

“Benarkah?” tanyanya sumringah.

Aku mengangguk, “Nanti malam, pasti ku telepon.”

Aku tahu aku hidup di hatinya. Bayangnya masih menembus roma kuduk ku yang setiap malam ia tiup. Kenapa kau pergi secepat itu sayang? Belum sempat kau menggendongnya dan mengajaknya menginjak rerumputan yang berembun di pagi hari. Atau sekedar menjawab pertanyaan suster jaga saat dia bertanya dimana ayahnya. Kini aku bersamanya. Buah hati yang kini terbaring di hadapanku dengan wajah yang tenang. Apakah kau melihatnya sayang? Ku tau pasti kau melihatnya.

Ponselku kembali bergetar. Kali ini lama. Kuputar tubuhku dan ku raih dia dari balik tas kerja. Aryo calling…

“Ya?”

“Karin?”

“Ya?”

“Kau belum tidur?”

“Belum, ada apa?”

“Tadi pagi aku kerumahmu, tapi kau tak ada. Ku telepon tempat kerjamu, katanya kau dipulangkan. Kemana saja kau seharian ini?”

“Aku ke makam suamiku.”

“……”

“Sudah genap lima tahun di wafat. Aku ingin menjenguknya sebentar.”

“Kenapa kau tidak meneleponku, Aku bisa mengantarmu jika kau sakit. Aku juga khawatir dengan kondisi Fahim. Apa kau tak mengizinkan ku menjenguknya? Sebegitunya kah kau menghalangiku untuk masuk di kehidupanmu? Karin, sudah berapa kali aku katakan, aku mencintaimu…”

……………………

“Aku mencintaimu, Karin.”

“Terima kasih.”

“Tidak, bukan jawaban itu yang aku inginkan.”

“Tapi hanya ini yang bisa aku katakan.”

“Aku mencintaimu, Karin.”

“Aku hanya ingin menjaga Fahim.”

“Aku juga ingin menjaga Fahim, aku juga sayang dia.”

“Hanya Fahim yang aku inginkan.”

…………………….

“Aku hanya seorang wanita dengan satu anak, Aryo. Jangan rebut kasih sayangku kepadanya. Terima kasih jika kau mencintaiku. Tapi maaf aku mengecewakanmu.”

…………………….

Terputus…… jariku menekannya.

Kuhembuskan nafas panjang.

Kutatap ia dalam …

Tak ada yang bisa merebut aku dari mu, nak.

Aku menyayangi mu.




http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/wp-content/uploads/menikmati-mimpi.jpg&imgrefurl=http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/%3Fpaged%3D3&usg=__EamWSeBLD3ZvOtwT_NX_yk98QEA=&h=500&w=500&sz=104&hl=en&start=429&um=1&tbnid=9NPgRHanpqnFmM:&tbnh=130&tbnw=130&prev=/images%3Fq%3Dmimpi%26ndsp%3D18%26hl%3Den%26sa%3DN%26start%3D414%26um%3D1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar