Senin, 20 April 2009

story_hampir tengah malam(blok m tercela)



“Nge teh mbak….”

“Iya makasih bu..”

“Kok malem-malem masih di sini?”

“Iya lagi nungguin temen.”

Aku menatap aneh wanita tua dengan gendongan anak kecil di dadanya. Tanpa basa basi ia membuka percakapan pinggir jalanan Blok M Plaza yang masih ramai. Hampir tengah malam.

Tak ada pikiran lain selain perut yang lapar. Kurelakan tubuhku terduduk di pinggir jalanan, hampir tengah malam, bersama partner Tuhan yang juga bersamaku hanya untuk menyantap semangkuk mie rebus. Itu pun tidak habis, karena seleraku tiba-tiba hilang melihat kerumunan gelandang malam di sana.

Aku terduduk di bawah pohon, di pinggir trotoar, hampir tengah malam. Beberapa senyuman kulayangkan kepada wanita tua itu. Hingga beberapa kata-kata pun terlontar antara kami, membuat percakapan.

“Ck ck ck.. Ngomong sampe segitunya. Mau beli teh botol aja bilangnya mau beli kontol.”

“Apanya bu?”

“Itu. Perempuan yang lagi berdiri di sebrang. Padahal di sampingnya ada suaminya lagi nungguin. Pura-pura jadi tukang ojek, padahal perempuannya mau jual nonok.”

“Suaminya?”

“Iya. Nungguin di situ, kalo gak laku juga pasti dipukulin sampe rumah. Liat aja, bolak-balik dandan, tapi perempuan kayak gitu mah gak bakal laku. Murah.”

“Emang setiap hari dia di situ ya bu?”

“Iya.”

“Ohh..”

“Dia juga gak di sukain di sini.”

“Ohh.. katanya di terminal juga ada ya bu?”

“Yah itu mah lebih murah lagi.”

“Ohh...” (tak ada kata-kata lain yang terlontar)

Sekilas aku melirik wajah partner ku. Ia tersenyum. Saja.

“Kalo saya mah gak mau kayak gitu. Semiskin-miskinnya saya, segimana pun saya, saya mah gak mau. Apalagi kalo anak saya sampe kayak gitu. Gak sudi saya mah. Saya gantung idup idupan bener dah!”

Pandanganku langsung tertuju pada gadis kecil di dekapannya.

“Ini anak ibu?”

“Iya nih, baru dua tahun.”

“Gak apa-apa malem-malem gini di luar?”

“Iya nih tadi juga agak kuatir. Rada anget. Tapi udah di kasih inzana terus gak anget lagi. Yaudah jadi gak apa-apa.”

“Cuma ini doang anak ibu?”

“Nggak, ada yang lain. Yang paling gede udah SMA. Kemaren baru minta motor, kasih aja motor yang bekas. Yang kedua cewek masih SMP. Yang ketiga masih kecil, kelas 2 SD. Yang ke empat kelas satu SD. Ini yang bontot.”

“Ohh.. yang pertama cowok?”

“Iya, yang pertama cowok, yang ke tiga sama ke empat juga cowok.”

“Sekolah di mana bu?”

“Di sana.. di daerah joglo.”

“Ooh..rumah ibu di joglo?”

“Iya, itu juga baru pindah.”

“Suami ibu?”

“Kerja. Loakan. Di daerah kebayoran.”

“Ooh.. ibu tidur di sini kalo malem?”

“Pulang sih. Gak enak sama tetangga, besok ada maulid soalnya. Gak enak.” (tanggal merah sebagai hari raya nyepi di bilang sebagai maulid nabi? dan sayangnya aku pun percaya)

Tangan kasar ibu itu pun mengusap kepala anaknya yang tertidur dengan pulas. Sekali lagi, dan anak itu pun tetap pulas.

“Kalo ngamen malem bu?”

“Iya, malem berangkat. Pagi pulang. Ngurus anak-anak mau sekolah.”

“Dari jam berapa aja bu?”

“Biasanya sih mulai jam 7, mpe jam 12, jam 1 kadang-kadang. Lumayan mbak. Biasanya sih di lampu merah blok m. Waktu itu pernah di ajakin ke lampu merah senayan. Lagi pada ujan mbak, jadi macet. Lumayan dapet 100, 120, 150 ribu. Tapi kata anak-anak yang di sana, pengamen-pengamen juga, ibu pulang ajah udah malem, kasian dedek nya. Yaudah, saya pulang, bener juga.”

“Wah banyak juga yah, lumayan buat sekolah ya bu.”

“Ya lumayan. Buat jajan. Yang gede sih saya kasih 15 ribu, udah sama bensin itu. Terus yang kecil saya kasih seribu seribu ajah. Kalo minta lagi saya kasih seribu ajah lagi. Biar para ngerasain anak-anak kalo nyari duit itu susah.”

“Iya bu…” kataku mengangguk sambil tersenyum.

Selang beberapa lama.

Aku terpaku pada koordinasiku dengan Tuhan.

Dia terpaku pada pembicaraan sesama gelandangan.

Aku merasakan lelah. “Pulang kapan?”

“Terserah…”

“Pastiin dulu proyek jalan yah.”

Ia mengangguk.

…………………

“Kok gak ada yang dateng-dateng sih bu?”

“Apanya?”

“Itu, gak ada tamu yang datang nawar dia.”

“Hh, jarang ada mbak. Di sini mah yang laku si Pinkan. Ntar keluarnya jam 1 atau jam 2 baru keluar. Itu primadona di sini. Tapi ya gitu mbak, kasian juga, sakit-sakitan.”

“Sakit-sakitan gimana? Emang berapa umurnya?”

“Masih muda, tapi yang namanya perawan ya gitu..”

“Perawan?”

“Ya namanya perawan, itunya masih muda, tapi udah dimasukin yang kecil yang gede, ya pasti gak kuat lah ya. Jadinya ya gitu sakit-sakit an. Kasian juga.”

“Ooh.. ”

Pinkan. Siapa dia. Wanita malam kah? Pasti.

Begitu bangganya ia membicarakan tentang Pinkan. Begitu sayangnya dia kepada Pinkan. Tanpa malu, tanpa saringan kata-kata ia berbicara.

Suara lembut, namun dengan diksi yang parau.

Aku tertegun sesaat.

Hampir tengah malam aku terduduk.

Hampir tengah malam aku mendengar sedikit cerita miris yang sangat jarang ku dengar.

Jakarta. Ternyata sangat mudah merenggut keperawanan wanita….

“Udah mulai katanya.”

“Udah sampe apa?”

“Gak tau, gw telepon gak di angkat. Tapi kata naim sih udah mulai dari tadi.”

“Oh, yaudah. SMS in ajah, bagus in dulu anaknya. Jangan buru-buru.”

Ia mengangguk.

“Kasih tau juga, kita pulang sekarang.”

Ia mengangguk lagi.

13-4-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar