Senin, 20 April 2009

story_iksan di bui

Sekali lagi aku melihatnya memasang senjatanya. Kali ini tidak seseram kemarin. Hanya meletakkan ditempatnya, lalu dengan enak tangannya mencomot secangkir kopi kental yang baru dikirim dari warung sebelah.

Aku menelan ludah dalam saat menyaksikan bibirnya berdecap basah. Sepertinya kopi itu manis. Mungkin seperti yang setiap hari emak buat untuk menghilangkan kantuknya. Atau malah sangat manis seperti gula aren yang sering abang bawa dari kebun. Ah, aku ingin sekali mencicipinya. Paling tidak untuk sarapan kali ini. Untuk mengganjal perutku yang sedari malam meronta dan minta untuk dikasihani. Aku meremasnya sekeras mungkin. Mengkencangkan sabuk pinggangku lalu melipat perutku hingga tertekuk di ujung ruangan.

Tiba-tiba ia melirik ke arahku. Matanya bengis. Hidungnya kembang kempis. Lidahnya sibuk mencari-cari makanan yang tersangkut di sela taringnya. Aku melihatnya tadi makan ayam bakar. Dan aku dibiarkan menontonnya sambil terus mengusap liur.

“Kau akan dibawa sekarang.” katanya singkat sambil membuka jeruji ini.

“Apa aku akan dipenjara sekarang?”

Ia mengangguk pelan.

Tuhan. Entah apa yang aku pikirkan sekarang. Aku menurut saja saat ia tarik kasar lengan kecilku yang aku tahu ia pun jijik untuk memegangnya. Aku tersenyum simpul menahan tawa yang mungkin akan meledak. Aku meliriknya. Ia mencibir halus. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunduk dan menahan emosi bahagiaku. Yes!

# # #

Entah bagaimana aku harus berbicara. Aku hanya seorang anak kecil yang kurang berpendidikan. Aku hanya bersekolah sampai kelas 2 SD. Aku hanya baru sanggup menghitung lancar perkalian enam. Itupun tidak sampai habis. Katanya aku tidak usah bersekolah kalau kerjaanku hanya berkelahi saja. Memang, setiap pulang sekolah wajahku pasti membiru dan lebam. Tak jarang kepala atau lututku berdarah karena didorong ke dalam comberan oleh orang yang seharusnya aku sebut teman. Pernah sekali aku dibawa ke kepala sekolah karena kenakalanku. Aku dipermalukan, orang tua itu juga malah mengungkit nilai pelajaranku yang jelek. Bayaranku yang menunggak. Dan walhasil, ‘teman-teman’ itu malah menggantung celana sekolahku di tiang bendera.

Tapi aku tidak pernah menangis. Mengeluh pun tidak pernah. Mungkin dengan sikapku itu emak mengira akulah sebenarnya yang membuat masalah. Akulah yang memulai semua perkelahian. Akulah anak nakal itu. Biang onar. Biang keladi. Tapi aku tidak peduli. Aku yakin aku benar. Mereka yang memulai. Mereka menyebutuku anak preman. Anak penjahat. Bahkan terkadang mereka menyebut emak pelacur karena mereka tahu emak berjualan nasi di tempat prostitusi itu. Salahkah semua amarahku?

Mereka memanggilku Pecun. Katanya itu berarti aku pecundang kecil yang bisanya hanya dicaci dan dijadikan pelampiasan. Tapi setiap aku bertanya itu kepada emak, raut wajahnya langsung berubah. Ia seperti marah dan langsung ingin memukulku. Baguslah, berarti nama itu punya arti lain yang mungkin jauh lebih jelek daripada sekedar pecundang. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku. Ikhsan. Menurutku nama itu sangat bagus dibanding anak-anak kampung yang sering menjelek-jelekkan aku. Kata emak, nama itu dari bapak yang sudah memberinya sedari aku masih dalam kandungan.

Bapak….

Aku kangen bapak.

Aku duduk di atas dipan, di samping emak yang sedang meniup bara kayu untuk menghangatkan nasi kemarin.

“Mak.”

Ia tidak menjawab. Asap itu benar-benar mengganggunya untuk bernafas. Wajahnya terlihat kusut saat tangannya mengusap asal dahinya. Kerutannya semakin tampak saja. Rambut putihnya semakin melebat saja. Tapi aku masih saja bisa melihat sisa-sia kecantikannya saat ia tertidur di sampingku atau menyisir rambutku. Emak paling tidak suka kalau aku pulang terlambat tanpa memberi kabar

“Mak!”

Ia menoleh. Lalu kembali lagi.

“Ikhsan kangen bapak, mak.”

Seketika itu juga ia terbatuk. Wajahnya berubah tegas dan menyeramkan. Sepertinya ia akan marah dan memukulku lagi. Atau dia akan menyuruhku tidur di luar lagi dengan sapi-sapi kurus itu. Entahlah. Tapi yang pasti aku sadar kalau aku benar-benar salah bicara kali ini.

Perlahan aku berdiri saat emak masih terbatuk keras. Mungkin ini yang dinamakan melarikan diri. Kata abang, emak memang punya penyakit pernafasan, yang aku lupa namanya. Aku harus pergi sebelum emak memelototiku. Aku takut melihat matanya yang keluar dan bahunya yang bergetar jika marah. Nafasnya juga berdengus tak beraturan bahkan terkadang mengeluarkan suara. Aku benar-benar takut dan sering terbawa tidur.

Tapi langkahku terhenti saat sebuah tangan mencapit lenganku. Aku menoleh dengan pasrah. Aku ingin dia tahu kalau aku takut dan membatalkan hukumannya.

Dia menarik tanganku dengan keras. Dia mendudukkanku di atas dipan dan di berdiri tegap di depanku.

Aku tertunduk dan semakin tertunduk saat matanya semakin terbelalak. Aku memang salah. Maaf. Aku memang salah.

Perlahan aku membuka mataku. Ternyata tak ada pukulan. Ia malah bersimpuh dengan wajahnya yang coreng moreng di hadapanku.

“Kamu masih inget bapak?”

Aku mengangguk keras.

“Kamu inget mukanya bapak?”

Aku memejamkan mata sebentar, lalu mengangguk lebih keras. Tapi menggeleng lagi…

Air muka emak semakin melembut disamping bara api yang panas. Emak mengusap wajahnya.

“Emak nggak bisa apa-apa, Nak.”

“Maksud emak?”

Ia terdiam.

“Emak juga lupa muka bapak?”

Ia semakin terdiam.

“Emangnya bapak dimana, Mak? Kata emak bapak masih hidup. Kata emak, bapak sayang ikhsan. Tapi mana, Mak? Dimana bapak sekarang? Emak bohong. Emak bohong!”

“Ikhsan! Diam!”

Aku tertegun saat mendengar bentakan emak. Amarah yang sedari tadi aku bayangkan, kini keluar juga. Tangannya juga sudah terangkat lebar di atas kepalaku. Tapi aneh, aku tidak merasa takut. Aku malah semakin marah saat menyadari ternyata emak telah membohongi aku selama ini.

Emak mengatur nafas dan menahan batuknya. Sepertinya berat, tapi ia tetap berusaha.

“Bapakmu masih hidup, Nak.”

“Bapak dimana, Mak?”

Mata emak seperti basah, sampai-sampai ada bayangan mukaku yang sayu di dalamnya. Ia mengusapnya.

“Bapakmu terlalu baik sampai harus berpisah dengan kita, Nak. Dia orang yang bertanggung jawab. Dia sangat sayang sama kamu. Dia orang yang baik.” emak terhenti sebentar. “Dia dipenjara, Nak.”

# # #

Aku rela dikejar orang-orang. Aku rela dikeroyok pedagang di pasar. Bahkan aku rela kalau wajahku ini kembali lebam dan bahkan tak berbentuk.

Aku juga rela kalau dompet ini kembali ke pemiliknya, karena aku memang tidak membutuhkannya. Emak selalu memberi makan aku, walau terkadang tak sampai sehari dua kali. Emak juga selalu memberi uang kepadaku, walau tak sampai seminggu sekali. Aku rela kalau harus berbicara dengan polisi gendut itu, walau aku sangat tidak suka dengannya.

Tiga malam aku menginap di kantor polisi. Emak tidak menjengukku, karena aku bilang akan menginap di rumah teman untuk mungkin mencari kerja. Entah mengamen atau pedagang asongan. Tapi tidak untuk mengemis. Kuakui semua kejahatanku sampai semua yang sebenarnya tak aku lakukan. Itu akan semakin menyalahkanku. Aku akan cepat diadili dan dimasukkan ke dalam bui.

“Kau akan dibawa sekarang.” katanya singkat sambil membuka jeruji ini.

“Apa aku akan dipenjara sekarang?”

Ia mengangguk pelan.

Sepanjang perjalanan ia tidak bicara. Aku yang terduduk manis di kursi belakang, tampak sumringah saat tiba di dalam tembok besar berjeruji tajam dengan orang-orang berseragam yang tampa henti mengayunkan tongkatnya.

“Namanya siapa?” seseorang bertanya.

“Ikhsan.” jawabku tersenyum.

Kemudian ia mengangguk dan langsung menggandengku masuk.

Tapi kemudian semua seperti salah. Semua seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Mereka semua masih bermain. Mereka semua masih terlalu kecil. Aku membuang pandangan lebih jauh untuk sekedar mencari kemungkinan lain. Tapi tetap, mereka semua masih bermain.

Aku menoleh ke seseorang yang menggandengku. “Pak, boleh tanya?”

“Apa?”

“Bisa antar Ikhsan ke tempat orang dewasa?”

“Untuk apa?”

“Untuk…untuk…..”

“Jangan sok berani. Bisa-bisa kau dijadikan bulan-bulanan preman-preman pasar di sana. Kau harus menjadi dewasa dulu untuk dipenjara di sana. Dan aku lihat, kau masih terlalu kecil untuk sampai ke sana.” kemudian ia tertawa. “Untuk apa kau ke sana, Nak? Mencari bapakmu?” ia kembali tertawa.

Aku tertunduk lemas.

Iya. Dalam hatiku.

Apa yang telah aku lakukan? Untukku? Untuk seseorang yang ingin aku jumpai….seumur hidupku….

Semua kerelaanku sia-sia. Semua kebohongan itu sia-sia. Hanya asa, hanya harap. Mimpi yang belum dapat sempurna menjadi.

Emak pasti marah. Aku pulang terlalu terlambat kali ini.

Aku menangis….Kali ini aku menangis……

Aku harus di sini untuk waktu yang lama. Untuk waktu yang seharusnya aku bersamanya.

Aku tak bisa bertemu Bapak.

Aku kangen Bapak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar