Sabtu, 25 April 2009

waktu begitu cepat bergulir


Waktu seakan begitu cepat bergulir,
kedipan mataku kerap terlupakan karena deru jantung yang tak beraturan,
Hidup bagiku hanya sebuah tolakan.
Dari jemari kaki yang menjinjit dan siap melompat ke atap yang entah mungkin terjangkau.

Aku menengada.
Leherku terbentuk dari belulang kering yang terlapisi oleh basahnya keringat.
Mataku terpicing. Tipis.
Di bawah terik yang tiap hari menggigit.
Kuangkat nafas dan kulapangkan dada.
Di bawah rerumputan liat dan stepa meninggi,
aku berdiri, tanpa beralas kaki,
tanpa balutan layak membungkus kulit.
Beriaku air, Tuhan,
mungkin untuk yang pertama kusebut nama itu.

Kurasakan ia menetes.
Tapi tak terasa melegakan.
Perih.
Dalam hati, bergemuruh gejolak memaki.
Ku kepalkan kedua telapak tangan.
Tapi kupedulikan kulitnya tertembus tajamnya kuku.
Kubiarkan mereka tetap mengalir.
Tanpa henti hingga jerit seakan tak berarti.
Suaraku terjepit. Nafasku tertahan.
Aku rubuh dalam simpuh di atas tanah merekah panas.
Aku tertunduk.
Genggaman itu kini terbuka, menumpu tubuh ringkih itu.

Tatapan itu kini.....

Kosong terpaku pada bumi.
Sebegitu dekat aku.
Gemetar kurasa menembus tubuhku.
Aku rubuh tersimpuh.
Mataku memerah basah.
Dalam serah kehidupan.
Kurasakan.
Waktu begitu cepat bergulir.

poem_kekasih


Ia meneguk putih bergulir yang mengalir.
Ia akan resapi pasti menanti yang dicari.
Apakah jelitaku akan kembali?
Kekasih hati...
Ditunggu di ambang hari saat senja menjadi.

hebat


mungkin Colombus bisa sehebat itu,
dan Einstein menggunakan otaknya untuk berfikir,
kau lihat Newton menciptakan energi?
menerangi dunia karena Edison yang bodoh,
perang pun tercipta dengan kumis tertempel di bibir Hitler,
tersiarkan ke pelosok dunia oleh pancaran Marconi,
Graham Bell juga ikut menelefon sahabatnya,
dan terbukalah jalan dengan urukan tanah Dandles,
apa mereka pernah memikirkan kedipan Cleopatra?
yang bahkan sanggup meluluhkan hati Dewa Amor,
saat Aristoteles membagi semua kata,
romeo pun berpuisi untuk Juliete,
begitu gagah seprti Hercules mengalahkan raksasa,
dan pegasus yang membentangkan sayapnya,
tidak seperti napoleon yang takut kucing,
tak heran jika Amstrong pergi ke bulan,
dan Darwin tanpa bosan mengmbangkan teorinya,
bahkan James Watt terus menguapkan mesinnya,
kau tahu Niels Bohr akan bosan dengan atom-atom nya?
bahkan Walt Disney akan membuang semua film-film nya,
tapi kau tak akan tahu kapan medusa akan membunuh semua ularnya,
karena Santa Clause juga tak akan begitu saja meninggalkan rusa-rusa nya,
biarkan pasangan Wright terbang dengan kapalnya,
mengukur seberapa benar hamurabi dengan hukum-hukum nya,

Rabu, 22 April 2009

aku wanita dengan satu anak

Kurasakan hari ini mood ku agak sedikit terganggu. Kubuka kalender, kuhitung hari dan prediksi, tak kudapatkan angka pasti kapan aku kedatangan tamu bulanan. Sepanjang hari aku berjalan keluar masuk kamar mandi hingga kurelakan para pelanggan menunggu terlalu lama hanya untuk memastikan kalau vaginaku tak mengeluarkan darah kotor itu. Aku tak peduli mandor roti itu memperhatikan tingkah ku yang terbilang sedikit songong siang itu. Tapi justru ketidakpedulian ku tersebutlah yang membuatku dapat melangkah menyusuri trotoar hitam di siang bolong seperti ini. Aku dipulangkan hari ini.
Ponsel ku tak henti bergetar dari dalam saku jaketku. Awalnya kulihat nama pengusaha muda itu muncul di layar datarnya. Aryo namanya. Dia tampan, mapan, baik, dari keturunan maupun dirinya. Maaf, dalam hatiku menjawab. Bukan aku tak menghormatimu dengan tak menjawab teleponmu. Tapi aku takut mengecewakanmu. Kau terlalu baik selama ini. Hanya untuk aku, seorang wanita dengan satu anak.Kali ini getaran itu pendek. Kuberanikan diri untuk mengelurkannya dari dalam saku. 7 missed call, 1 message Hanya itu yang dia kirim. Kutarik nafas panjang, dan ku ikhlaskan jemariku bergerak. “paling tidak untuk saat ini.”

Dari jauh kulihat aspal itu terbakar. Atap mobil seakan fatamorgana mesin uap yang menyala. Mataku terpicing. Kulit tanganku terbakar. Benar-benar ku khawatiri flek hitam yang terus menjadi di rona merah wajahku yang semakin menua. Aku takut bernafas dalam debu, takut-takut bronchitis itu kembali datang dan mengganggu hidupku lagi. Langsung kuselubungi mulut dan hidungku dengan kedua telapak tanganku yang mencembung.

“Tisu, Bu?” sapa seorang anak kecil di samping kananku.

Aku terdiam seketika. Tak menjawab, hanya menatapnya dalam panasnya udara Jakarta.

“Tisunya, Bu? Mau beli?” tanyanya lagi lebih tegas.

Tanpa ekspresi, aku menggeleng.

Kuperhatikan langkah kecilnya melangkah menjauhiku. Tingginya hanya seukuran pinggangku. Kulitnya hitam kering terbakar matahari. Rambutnya berdebu seperti kemoceng di toko roti tempatku bekerja. Tiba-tiba sekelumit memoar terlintas di pikiranku. Seorang bocah kecil berlarian di dalam rumah. Tubuhnya kurus, melebihi anak jalanan itu. Hanya saja dia putih. Wajahnya kecil dengan rambut hitamnya yang tipis. Terkadang ia tertawa, bahunya bergetar dengan tulang sela yang menyimbul tajam. Sering kali kuselipkan kedua telapak tangannya di dalam ketiakku. Dia sering menggigil, bibirnya sangat pucat jika terbangun dini hari.

Dia Fahim, anakku. Umurnya baru 5 tahun. Tapi tubuh ringkuhnya tak membuat orang berfikiran hal yang sama dengan kenyataan. Ibuku sering bilang kalau Fahim tak berbeda dengan anak lainnya. Dia hanya perlu sedikit perhatian yang lebih. Sedikit perlakuan yang lebih manusiawi. Dan sedikit kesediaan Tuhan untuk memperpanjang umurnya. Hanya sedikit. Tapi perlu usaha yang besar untuk mendapatkannya.

# # #

Saat itu hujan besar saat aku melahirkannya. Tapi, tak terasa. Karena aku di dalam sebuah ruangan besar, dengan kabel-kabel yang menempel entah seberapa banyak di tubuhku. Oksigen itu juga terasa terlalu kencang berhembus masuk ke hidungku. Aku hanya menatap langit-langit. Dengan jemari yang erat menggenggam sebuah tangan hangat yang sedari dulu telah ku kenal. Tangan ibu.

Perutku terasa begitu kaku. Mataku saja begitu berat untuk berkedip. Tak terpikirkan apa yang akan ditanya bayi ini nanti jika telah menginjak dunia. Apa aku sanggup mendengarnya? Apa dia benar akan menanyakannya? Kukuatkan hatiku menerima kenyataan. Tidak usah nanti, beberapa saat lagi setelah tangisan itu terdengar, wanita bertopi putih dan berparas sayu itu akan bertanya, dimana bapaknya?

Bu, biarkan cairan heroin itu menembus masuk meracuni darahku. Lelapkan aku pada kelam ketenangan sesaat yang kadang kupinta akan selamanya. Aku ingat air mataku menetes mengaliri pipi. Kurasakan sesuatu mengusapnya lembut. Kuharap itu dia. Dia yang selama ini menjadi bayangan gelap dalam selubung mimpiku. Aku yakin, dia tahu.

28 Juli 2004…

Samar terlihat detik di hadapanku berjalan.

Tuhan…..

Mengapa kau hidupkan aku lagi?

“Sayang…” Bisikan itu lembut di samping telingaku. Ia tersenyum. Menampakkan kedua matanya yang hangat. Dahinya mengerenyit. Sekali lagi ia tersenyum… dan meletakkan jemarinya yang dingin ke dadaku… hati kami saling bicara…

Mengapa kau tak ada saat itu?

Aku ada sayang.

Aku tak melihatmu.

Tapi aku tahu kau merasakanku. Aku mendengar tangisannya. Bawa dia di rerumputan pagi hari, dia akan cepat berjalan.

Kau…

Jangan bilang aku jahat. Aku mencintaimu sayang. Jaga dia…

“Karin….” Suara itu memecah keheningan. Aku menoleh.

Seorang wanita tua melangkah pelan dengan gendongan bayi kecil tak bergerak. Kecil sekali hingga wajahnya saja sulit untuk terlihat.

Ibu menyodorkannya kepadaku. Kedua tanganku tak terasa kuat untuk meraihnya. Begitu berat saat kulihat garis matanya terlelap dalam. Bibirnya basah menyambul kecil seperti pentil jambu. Dia masih merah. Kulitnya masih sangat tipis. Aku mendekatkan hidungku ke dahinya. Dia anakku.

“Apakah dia menangis, Bu?”

Ibu mengangguk.

Bagus, berarti dia sehat.

“Aku ingin lihat tubuhnya, Bu.”

Ibu menyodorkan kembali padaku. Tapi dengan cepat aku menggeleng.

Perlahan Ibu buka selimut tebal yang menyelubunginya. Detak jantungku menderu lembut namun cepat di dalam dadaku saat kulihat kesempurnaan tubuh mungil itu. Aku tertawa lembut. Senyumku terkembang sesaat kurasakan mataku basah.

Dengan cepat kuraih dia dalam pelukanku. Dia hangat. Masih berbau dan tipis. Kukecup bibir kecilnya, dia menggeliat. Oh Tuhan, ia terlalu sempurna untukku.

ASI? Iya, aku harus memberinya ASI. Bagaimana caranya? Aku menengadah meminta petunjuk Ibu. Wajahku sumringah penuh harap bertanya. Tapi, sayang, tak kudapatkan jawaban itu darinya. Terlebih, wajahnya menambahkan beban pertanyaan yang juga harus terjawab. Ibu menangis.

“Kenapa, Ibu?”

Ia menggeleng, “Tidak. Sekarang berilah dia ASI, nak.”

# # #

Malam ini Ibuku bercerita kalau Aryo datang tiba-tiba dan menungguku seharian di rumah. Dia tidak ke kantor hari ini. Mungkin merasa bersalah karena dia tidak datang saat Fahim dirawat karena trombositnya menurun. Kanker itu telah memenjarakannya. Anakku terpenjara.

Sambil menghabiskan semangkuk sup yang ada di hadapanku, aku mengangguk dan mendengarkan saja Ibuku bercerita. Tak ada satupun yang aku tanggapi. Tapi entah mengapa Ibu terus saja berkata tanpa merasa kalau anak satu-satunya ini nanti akan menyakiti hatinya.

Setelah berapa lama, Ibu terdiam. Wajah lelah itu terus saja memancarkan senyum bijaknya. Seperti ingin berkata, lihatlah aku nak.

Ya bu, aku akan menatapmu. Tapi apakah tatapan ini akan berarti jika nantinya aku akan menyakitimu? Aku tidak mencintainya, Bu.

“Nanti akan aku telepon dia.”

“Benarkah?” tanyanya sumringah.

Aku mengangguk, “Nanti malam, pasti ku telepon.”

Aku tahu aku hidup di hatinya. Bayangnya masih menembus roma kuduk ku yang setiap malam ia tiup. Kenapa kau pergi secepat itu sayang? Belum sempat kau menggendongnya dan mengajaknya menginjak rerumputan yang berembun di pagi hari. Atau sekedar menjawab pertanyaan suster jaga saat dia bertanya dimana ayahnya. Kini aku bersamanya. Buah hati yang kini terbaring di hadapanku dengan wajah yang tenang. Apakah kau melihatnya sayang? Ku tau pasti kau melihatnya.

Ponselku kembali bergetar. Kali ini lama. Kuputar tubuhku dan ku raih dia dari balik tas kerja. Aryo calling…

“Ya?”

“Karin?”

“Ya?”

“Kau belum tidur?”

“Belum, ada apa?”

“Tadi pagi aku kerumahmu, tapi kau tak ada. Ku telepon tempat kerjamu, katanya kau dipulangkan. Kemana saja kau seharian ini?”

“Aku ke makam suamiku.”

“……”

“Sudah genap lima tahun di wafat. Aku ingin menjenguknya sebentar.”

“Kenapa kau tidak meneleponku, Aku bisa mengantarmu jika kau sakit. Aku juga khawatir dengan kondisi Fahim. Apa kau tak mengizinkan ku menjenguknya? Sebegitunya kah kau menghalangiku untuk masuk di kehidupanmu? Karin, sudah berapa kali aku katakan, aku mencintaimu…”

……………………

“Aku mencintaimu, Karin.”

“Terima kasih.”

“Tidak, bukan jawaban itu yang aku inginkan.”

“Tapi hanya ini yang bisa aku katakan.”

“Aku mencintaimu, Karin.”

“Aku hanya ingin menjaga Fahim.”

“Aku juga ingin menjaga Fahim, aku juga sayang dia.”

“Hanya Fahim yang aku inginkan.”

…………………….

“Aku hanya seorang wanita dengan satu anak, Aryo. Jangan rebut kasih sayangku kepadanya. Terima kasih jika kau mencintaiku. Tapi maaf aku mengecewakanmu.”

…………………….

Terputus…… jariku menekannya.

Kuhembuskan nafas panjang.

Kutatap ia dalam …

Tak ada yang bisa merebut aku dari mu, nak.

Aku menyayangi mu.




http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/wp-content/uploads/menikmati-mimpi.jpg&imgrefurl=http://blogroll.dailywhatnot.com/woktherock/%3Fpaged%3D3&usg=__EamWSeBLD3ZvOtwT_NX_yk98QEA=&h=500&w=500&sz=104&hl=en&start=429&um=1&tbnid=9NPgRHanpqnFmM:&tbnh=130&tbnw=130&prev=/images%3Fq%3Dmimpi%26ndsp%3D18%26hl%3Den%26sa%3DN%26start%3D414%26um%3D1

Senin, 20 April 2009

story_hampir tengah malam(blok m tercela)



“Nge teh mbak….”

“Iya makasih bu..”

“Kok malem-malem masih di sini?”

“Iya lagi nungguin temen.”

Aku menatap aneh wanita tua dengan gendongan anak kecil di dadanya. Tanpa basa basi ia membuka percakapan pinggir jalanan Blok M Plaza yang masih ramai. Hampir tengah malam.

Tak ada pikiran lain selain perut yang lapar. Kurelakan tubuhku terduduk di pinggir jalanan, hampir tengah malam, bersama partner Tuhan yang juga bersamaku hanya untuk menyantap semangkuk mie rebus. Itu pun tidak habis, karena seleraku tiba-tiba hilang melihat kerumunan gelandang malam di sana.

Aku terduduk di bawah pohon, di pinggir trotoar, hampir tengah malam. Beberapa senyuman kulayangkan kepada wanita tua itu. Hingga beberapa kata-kata pun terlontar antara kami, membuat percakapan.

“Ck ck ck.. Ngomong sampe segitunya. Mau beli teh botol aja bilangnya mau beli kontol.”

“Apanya bu?”

“Itu. Perempuan yang lagi berdiri di sebrang. Padahal di sampingnya ada suaminya lagi nungguin. Pura-pura jadi tukang ojek, padahal perempuannya mau jual nonok.”

“Suaminya?”

“Iya. Nungguin di situ, kalo gak laku juga pasti dipukulin sampe rumah. Liat aja, bolak-balik dandan, tapi perempuan kayak gitu mah gak bakal laku. Murah.”

“Emang setiap hari dia di situ ya bu?”

“Iya.”

“Ohh..”

“Dia juga gak di sukain di sini.”

“Ohh.. katanya di terminal juga ada ya bu?”

“Yah itu mah lebih murah lagi.”

“Ohh...” (tak ada kata-kata lain yang terlontar)

Sekilas aku melirik wajah partner ku. Ia tersenyum. Saja.

“Kalo saya mah gak mau kayak gitu. Semiskin-miskinnya saya, segimana pun saya, saya mah gak mau. Apalagi kalo anak saya sampe kayak gitu. Gak sudi saya mah. Saya gantung idup idupan bener dah!”

Pandanganku langsung tertuju pada gadis kecil di dekapannya.

“Ini anak ibu?”

“Iya nih, baru dua tahun.”

“Gak apa-apa malem-malem gini di luar?”

“Iya nih tadi juga agak kuatir. Rada anget. Tapi udah di kasih inzana terus gak anget lagi. Yaudah jadi gak apa-apa.”

“Cuma ini doang anak ibu?”

“Nggak, ada yang lain. Yang paling gede udah SMA. Kemaren baru minta motor, kasih aja motor yang bekas. Yang kedua cewek masih SMP. Yang ketiga masih kecil, kelas 2 SD. Yang ke empat kelas satu SD. Ini yang bontot.”

“Ohh.. yang pertama cowok?”

“Iya, yang pertama cowok, yang ke tiga sama ke empat juga cowok.”

“Sekolah di mana bu?”

“Di sana.. di daerah joglo.”

“Ooh..rumah ibu di joglo?”

“Iya, itu juga baru pindah.”

“Suami ibu?”

“Kerja. Loakan. Di daerah kebayoran.”

“Ooh.. ibu tidur di sini kalo malem?”

“Pulang sih. Gak enak sama tetangga, besok ada maulid soalnya. Gak enak.” (tanggal merah sebagai hari raya nyepi di bilang sebagai maulid nabi? dan sayangnya aku pun percaya)

Tangan kasar ibu itu pun mengusap kepala anaknya yang tertidur dengan pulas. Sekali lagi, dan anak itu pun tetap pulas.

“Kalo ngamen malem bu?”

“Iya, malem berangkat. Pagi pulang. Ngurus anak-anak mau sekolah.”

“Dari jam berapa aja bu?”

“Biasanya sih mulai jam 7, mpe jam 12, jam 1 kadang-kadang. Lumayan mbak. Biasanya sih di lampu merah blok m. Waktu itu pernah di ajakin ke lampu merah senayan. Lagi pada ujan mbak, jadi macet. Lumayan dapet 100, 120, 150 ribu. Tapi kata anak-anak yang di sana, pengamen-pengamen juga, ibu pulang ajah udah malem, kasian dedek nya. Yaudah, saya pulang, bener juga.”

“Wah banyak juga yah, lumayan buat sekolah ya bu.”

“Ya lumayan. Buat jajan. Yang gede sih saya kasih 15 ribu, udah sama bensin itu. Terus yang kecil saya kasih seribu seribu ajah. Kalo minta lagi saya kasih seribu ajah lagi. Biar para ngerasain anak-anak kalo nyari duit itu susah.”

“Iya bu…” kataku mengangguk sambil tersenyum.

Selang beberapa lama.

Aku terpaku pada koordinasiku dengan Tuhan.

Dia terpaku pada pembicaraan sesama gelandangan.

Aku merasakan lelah. “Pulang kapan?”

“Terserah…”

“Pastiin dulu proyek jalan yah.”

Ia mengangguk.

…………………

“Kok gak ada yang dateng-dateng sih bu?”

“Apanya?”

“Itu, gak ada tamu yang datang nawar dia.”

“Hh, jarang ada mbak. Di sini mah yang laku si Pinkan. Ntar keluarnya jam 1 atau jam 2 baru keluar. Itu primadona di sini. Tapi ya gitu mbak, kasian juga, sakit-sakitan.”

“Sakit-sakitan gimana? Emang berapa umurnya?”

“Masih muda, tapi yang namanya perawan ya gitu..”

“Perawan?”

“Ya namanya perawan, itunya masih muda, tapi udah dimasukin yang kecil yang gede, ya pasti gak kuat lah ya. Jadinya ya gitu sakit-sakit an. Kasian juga.”

“Ooh.. ”

Pinkan. Siapa dia. Wanita malam kah? Pasti.

Begitu bangganya ia membicarakan tentang Pinkan. Begitu sayangnya dia kepada Pinkan. Tanpa malu, tanpa saringan kata-kata ia berbicara.

Suara lembut, namun dengan diksi yang parau.

Aku tertegun sesaat.

Hampir tengah malam aku terduduk.

Hampir tengah malam aku mendengar sedikit cerita miris yang sangat jarang ku dengar.

Jakarta. Ternyata sangat mudah merenggut keperawanan wanita….

“Udah mulai katanya.”

“Udah sampe apa?”

“Gak tau, gw telepon gak di angkat. Tapi kata naim sih udah mulai dari tadi.”

“Oh, yaudah. SMS in ajah, bagus in dulu anaknya. Jangan buru-buru.”

Ia mengangguk.

“Kasih tau juga, kita pulang sekarang.”

Ia mengangguk lagi.

13-4-2009

story_iksan di bui

Sekali lagi aku melihatnya memasang senjatanya. Kali ini tidak seseram kemarin. Hanya meletakkan ditempatnya, lalu dengan enak tangannya mencomot secangkir kopi kental yang baru dikirim dari warung sebelah.

Aku menelan ludah dalam saat menyaksikan bibirnya berdecap basah. Sepertinya kopi itu manis. Mungkin seperti yang setiap hari emak buat untuk menghilangkan kantuknya. Atau malah sangat manis seperti gula aren yang sering abang bawa dari kebun. Ah, aku ingin sekali mencicipinya. Paling tidak untuk sarapan kali ini. Untuk mengganjal perutku yang sedari malam meronta dan minta untuk dikasihani. Aku meremasnya sekeras mungkin. Mengkencangkan sabuk pinggangku lalu melipat perutku hingga tertekuk di ujung ruangan.

Tiba-tiba ia melirik ke arahku. Matanya bengis. Hidungnya kembang kempis. Lidahnya sibuk mencari-cari makanan yang tersangkut di sela taringnya. Aku melihatnya tadi makan ayam bakar. Dan aku dibiarkan menontonnya sambil terus mengusap liur.

“Kau akan dibawa sekarang.” katanya singkat sambil membuka jeruji ini.

“Apa aku akan dipenjara sekarang?”

Ia mengangguk pelan.

Tuhan. Entah apa yang aku pikirkan sekarang. Aku menurut saja saat ia tarik kasar lengan kecilku yang aku tahu ia pun jijik untuk memegangnya. Aku tersenyum simpul menahan tawa yang mungkin akan meledak. Aku meliriknya. Ia mencibir halus. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunduk dan menahan emosi bahagiaku. Yes!

# # #

Entah bagaimana aku harus berbicara. Aku hanya seorang anak kecil yang kurang berpendidikan. Aku hanya bersekolah sampai kelas 2 SD. Aku hanya baru sanggup menghitung lancar perkalian enam. Itupun tidak sampai habis. Katanya aku tidak usah bersekolah kalau kerjaanku hanya berkelahi saja. Memang, setiap pulang sekolah wajahku pasti membiru dan lebam. Tak jarang kepala atau lututku berdarah karena didorong ke dalam comberan oleh orang yang seharusnya aku sebut teman. Pernah sekali aku dibawa ke kepala sekolah karena kenakalanku. Aku dipermalukan, orang tua itu juga malah mengungkit nilai pelajaranku yang jelek. Bayaranku yang menunggak. Dan walhasil, ‘teman-teman’ itu malah menggantung celana sekolahku di tiang bendera.

Tapi aku tidak pernah menangis. Mengeluh pun tidak pernah. Mungkin dengan sikapku itu emak mengira akulah sebenarnya yang membuat masalah. Akulah yang memulai semua perkelahian. Akulah anak nakal itu. Biang onar. Biang keladi. Tapi aku tidak peduli. Aku yakin aku benar. Mereka yang memulai. Mereka menyebutuku anak preman. Anak penjahat. Bahkan terkadang mereka menyebut emak pelacur karena mereka tahu emak berjualan nasi di tempat prostitusi itu. Salahkah semua amarahku?

Mereka memanggilku Pecun. Katanya itu berarti aku pecundang kecil yang bisanya hanya dicaci dan dijadikan pelampiasan. Tapi setiap aku bertanya itu kepada emak, raut wajahnya langsung berubah. Ia seperti marah dan langsung ingin memukulku. Baguslah, berarti nama itu punya arti lain yang mungkin jauh lebih jelek daripada sekedar pecundang. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku. Ikhsan. Menurutku nama itu sangat bagus dibanding anak-anak kampung yang sering menjelek-jelekkan aku. Kata emak, nama itu dari bapak yang sudah memberinya sedari aku masih dalam kandungan.

Bapak….

Aku kangen bapak.

Aku duduk di atas dipan, di samping emak yang sedang meniup bara kayu untuk menghangatkan nasi kemarin.

“Mak.”

Ia tidak menjawab. Asap itu benar-benar mengganggunya untuk bernafas. Wajahnya terlihat kusut saat tangannya mengusap asal dahinya. Kerutannya semakin tampak saja. Rambut putihnya semakin melebat saja. Tapi aku masih saja bisa melihat sisa-sia kecantikannya saat ia tertidur di sampingku atau menyisir rambutku. Emak paling tidak suka kalau aku pulang terlambat tanpa memberi kabar

“Mak!”

Ia menoleh. Lalu kembali lagi.

“Ikhsan kangen bapak, mak.”

Seketika itu juga ia terbatuk. Wajahnya berubah tegas dan menyeramkan. Sepertinya ia akan marah dan memukulku lagi. Atau dia akan menyuruhku tidur di luar lagi dengan sapi-sapi kurus itu. Entahlah. Tapi yang pasti aku sadar kalau aku benar-benar salah bicara kali ini.

Perlahan aku berdiri saat emak masih terbatuk keras. Mungkin ini yang dinamakan melarikan diri. Kata abang, emak memang punya penyakit pernafasan, yang aku lupa namanya. Aku harus pergi sebelum emak memelototiku. Aku takut melihat matanya yang keluar dan bahunya yang bergetar jika marah. Nafasnya juga berdengus tak beraturan bahkan terkadang mengeluarkan suara. Aku benar-benar takut dan sering terbawa tidur.

Tapi langkahku terhenti saat sebuah tangan mencapit lenganku. Aku menoleh dengan pasrah. Aku ingin dia tahu kalau aku takut dan membatalkan hukumannya.

Dia menarik tanganku dengan keras. Dia mendudukkanku di atas dipan dan di berdiri tegap di depanku.

Aku tertunduk dan semakin tertunduk saat matanya semakin terbelalak. Aku memang salah. Maaf. Aku memang salah.

Perlahan aku membuka mataku. Ternyata tak ada pukulan. Ia malah bersimpuh dengan wajahnya yang coreng moreng di hadapanku.

“Kamu masih inget bapak?”

Aku mengangguk keras.

“Kamu inget mukanya bapak?”

Aku memejamkan mata sebentar, lalu mengangguk lebih keras. Tapi menggeleng lagi…

Air muka emak semakin melembut disamping bara api yang panas. Emak mengusap wajahnya.

“Emak nggak bisa apa-apa, Nak.”

“Maksud emak?”

Ia terdiam.

“Emak juga lupa muka bapak?”

Ia semakin terdiam.

“Emangnya bapak dimana, Mak? Kata emak bapak masih hidup. Kata emak, bapak sayang ikhsan. Tapi mana, Mak? Dimana bapak sekarang? Emak bohong. Emak bohong!”

“Ikhsan! Diam!”

Aku tertegun saat mendengar bentakan emak. Amarah yang sedari tadi aku bayangkan, kini keluar juga. Tangannya juga sudah terangkat lebar di atas kepalaku. Tapi aneh, aku tidak merasa takut. Aku malah semakin marah saat menyadari ternyata emak telah membohongi aku selama ini.

Emak mengatur nafas dan menahan batuknya. Sepertinya berat, tapi ia tetap berusaha.

“Bapakmu masih hidup, Nak.”

“Bapak dimana, Mak?”

Mata emak seperti basah, sampai-sampai ada bayangan mukaku yang sayu di dalamnya. Ia mengusapnya.

“Bapakmu terlalu baik sampai harus berpisah dengan kita, Nak. Dia orang yang bertanggung jawab. Dia sangat sayang sama kamu. Dia orang yang baik.” emak terhenti sebentar. “Dia dipenjara, Nak.”

# # #

Aku rela dikejar orang-orang. Aku rela dikeroyok pedagang di pasar. Bahkan aku rela kalau wajahku ini kembali lebam dan bahkan tak berbentuk.

Aku juga rela kalau dompet ini kembali ke pemiliknya, karena aku memang tidak membutuhkannya. Emak selalu memberi makan aku, walau terkadang tak sampai sehari dua kali. Emak juga selalu memberi uang kepadaku, walau tak sampai seminggu sekali. Aku rela kalau harus berbicara dengan polisi gendut itu, walau aku sangat tidak suka dengannya.

Tiga malam aku menginap di kantor polisi. Emak tidak menjengukku, karena aku bilang akan menginap di rumah teman untuk mungkin mencari kerja. Entah mengamen atau pedagang asongan. Tapi tidak untuk mengemis. Kuakui semua kejahatanku sampai semua yang sebenarnya tak aku lakukan. Itu akan semakin menyalahkanku. Aku akan cepat diadili dan dimasukkan ke dalam bui.

“Kau akan dibawa sekarang.” katanya singkat sambil membuka jeruji ini.

“Apa aku akan dipenjara sekarang?”

Ia mengangguk pelan.

Sepanjang perjalanan ia tidak bicara. Aku yang terduduk manis di kursi belakang, tampak sumringah saat tiba di dalam tembok besar berjeruji tajam dengan orang-orang berseragam yang tampa henti mengayunkan tongkatnya.

“Namanya siapa?” seseorang bertanya.

“Ikhsan.” jawabku tersenyum.

Kemudian ia mengangguk dan langsung menggandengku masuk.

Tapi kemudian semua seperti salah. Semua seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Mereka semua masih bermain. Mereka semua masih terlalu kecil. Aku membuang pandangan lebih jauh untuk sekedar mencari kemungkinan lain. Tapi tetap, mereka semua masih bermain.

Aku menoleh ke seseorang yang menggandengku. “Pak, boleh tanya?”

“Apa?”

“Bisa antar Ikhsan ke tempat orang dewasa?”

“Untuk apa?”

“Untuk…untuk…..”

“Jangan sok berani. Bisa-bisa kau dijadikan bulan-bulanan preman-preman pasar di sana. Kau harus menjadi dewasa dulu untuk dipenjara di sana. Dan aku lihat, kau masih terlalu kecil untuk sampai ke sana.” kemudian ia tertawa. “Untuk apa kau ke sana, Nak? Mencari bapakmu?” ia kembali tertawa.

Aku tertunduk lemas.

Iya. Dalam hatiku.

Apa yang telah aku lakukan? Untukku? Untuk seseorang yang ingin aku jumpai….seumur hidupku….

Semua kerelaanku sia-sia. Semua kebohongan itu sia-sia. Hanya asa, hanya harap. Mimpi yang belum dapat sempurna menjadi.

Emak pasti marah. Aku pulang terlalu terlambat kali ini.

Aku menangis….Kali ini aku menangis……

Aku harus di sini untuk waktu yang lama. Untuk waktu yang seharusnya aku bersamanya.

Aku tak bisa bertemu Bapak.

Aku kangen Bapak…

poem_kibas

runtuhkan paradigma dengan pertanyaan..
memoles habis sisik-sisik kasar terkelupas..
tak ku khayal urat nadi mencuat keluar..
tak pikirkan cairan otak meleleh lewat telinga..
wujudku dipandangnya..
tanpa bentuk dalam organ kebimbangan..
kegilaan diri terbendung melebur larutan kental mengisi palung, relung..
tak ada yang tertera di sayup beranda..yang menghempas roma terdalam tanpa dijamah..