Selasa, 19 Mei 2009

story_aku hanya pelupa

Bulu kuduk ku berdiri. Sepertinya ada setan putih yang hinggap di tengkuk ku. Aku memutar batang leherku yang kaku. Mengusapnya dengan telapak tanganku yang kasar seperti parutan keju. Ah, gelap sekali ruangan ini. Pengap, seperti otakku yang beku karena telah lama tak terpakai. Kutiupkan hembusan hangat itu dari mulutku, kuakurkan kedua tanganku di depannya. Kuni, lututku yang giliran mengeras. Seperti batu. Aku rasa aku tak bisa meluruskannya, dari lipatan yang tak berubah semanjak semalam.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar lolongan manusia yang meronta. Meminta kemerdekaan atas jiwanya. Membuka dekapan dingin orang-orang waras yang menganggap mereka sebagai kelinci percobaan. Mereka merasa terjerat. Dalam bayangan kosong namun terkadang tergambar. Hanya sepintas. Lalu menghilang lagi.
Seonggok tubuh itu d hadapanku. Tangannya mendekap tubuh dengan wajahnya yang pucat. Seorang lelaki gemuk dengan dajah yang jelek, sangan jelek menurutku. Dan dengan… air mata di pipinya. Dia terpaku di sampingnya. Memaksa tanpa kata dia untuk mengingat kembali.
”Apa kau gendut! Kau tak mengerti apa-apa tentang anakmu.” Gumamku. “ Dia sedih melihatmu menerima uang dari mucikari sialan itu. Kau pergi dengan dagu yang terangkat dan di belakangmu, terjadi pengundian keperawanan anakmu.”
Aku melihat gadis itu tersenyum padaku. Dia senang aku membelanya, karena tak seorang pun berpihak padanya. Termasuk dia, yang berani memanggil dirinya sendiri “mantan jalang”. Dan untungnya aku masih mengingat apa yang kau ceritakan tadi malam, nak. Walau hanya lewat tatapan kosong.
“Kau dokter kan?” suara itu memalingkanku ke sudut ruangan. Seorang wanita dengan rambut ikal berantakan tertunduk di bangku kayu sambil mengusap perutnya.
“Hei, kau dokter bukan? Kau memberitahuku seminggu yang lalu kalau kau adalah dokter spesialis kandungan.”
………………. “Lalu, kenapa?”
“Kau tahu bagaimana caranya mengembalikan mayat bayi ke dalam perut? Aku masih ingin bersama anak ku.” rengeknya.
“A…aku…aku tidak tahu…”
“Ah! Apa bisamu? Menangis?”
“Eh…aku…..aku bukan dokter…”
“Apa? Kenapa kau?”
“Aku…kenapa aku…tak ingat apa-apa?”
“Ah, alas an basi. Hanya untuk mendapatkan pembelaan. Bilang saja kau dokter yang tak bisa apa-apa. Kerjaanmu hanya menghabisi nyawa orang saja.”
“Bicara apa kau?!”
“Jangan berkelit. Pembunuh..”
………………………………………….
Ah…mataku berputar lagi.
Kini tubuhku menggigil. Jariku tak bisa digerakkan. Kenpa kau ….menjadi banyak? Mereka berpendar! Gama! Aku berpaling ke mantan jalang itu. Dahinya berkerenyit. Aku mendengar suara. “Anda kenapa, bu dokter?” tanyanya singkat.
Lalu suara itu bertambah banyak. Seperti memburuku. Menanyakan hal yang sama dalam waktu yang sama pula. Serempak, hanya satu kata. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?” seperti semua mengkhawatirkan aku.
Sejenak aku tersadar. Tidak semua. Satu orang tertawa sinis. Apa dia tidak suka padaku? Apa karena aku tidak bisa membantu memasukan bayinya kembali ke dalam perutnya?
“Aku lucu melihatmu. Kau orang paling pelupa di tempat ini. Kau lulusan luar negeri wanita cantik! Tapi otakmu ternyata tak dididik untuk menyimpan kenangan”. Suara parau. Matanya masih menatapku sinis.
“Aku…..aku lupa….tolong bantu aku.” Dalam bibir yang tertutup rapat dan lutut yang terlipat erat, air mataku mengalir. Kepalaku sakit, seperti ada mesin pabrik yang menyala di dalamnya.
Wajah pucat itu, semakin dingin. Lama...lama... kini dia tertawa tinggi!
“Aku kasihan melihatmu, Sya. Hanya ada satu yang menyelubungi masa lalumu.”
”Apa?” tanyaku tak sabar. ”Bantu aku mengingatnya! Aku bahkan tak tahu namaku, sampai tadi kau memanggilku dengan sebutan.. Sya...”
Perlahan dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celana pendeknya. Dan dengan mudah ia melemparnya ke hadapanku. Potongan cermin.
”Goreskan itu ke tanganmu. Tak akan terasa sakit.”
Sekejap mata. Iya. Tak terasa sakit. Tapi... Lalu apa?”
”Itu masa lalumu, Sya. Darah!”
Darah? Aku? Aku darah? Aku siapa? Hkkz....

4 April 1980

Aku kira ini akan menjadi liburan yang menyenangkan. Tapi, iya pada awalnya. Ayah terlihat tampan dengan rambut yang klimis. Walau matanya terlihat lelah sehabis pulang mengoperasi pasien semalam, tapi ia sempatkan menyebarkan senyum kepada anak-anaknya pagi itu. Termasuk aku, Asya. Anak terakhir dari keluarga bahagia ini. Aku ingat.
Aku ingat, ibuku seorang pelukis. Dia baru saja mengadakan pameran lukisan di Jakarta seminggu yang lalu. Ayahku dokter yang selalu tidak punya jam kerja. Kakak ku... kakak ku... Aku mempunyai 3 orang kakak. 1 laki-laki dan 2 orang perempuan. Yang pertama...ah, aku tidak ingat. Yang pasti semua wajahnya mirip dengan ibu. Cantik Oh iya, mereka semua juga dokter. Aku ingat.
Siang itu, ayah dengan gagah duduk di kursi pesawat. Di sampingnya seorang lelaki. Mmmm, ya itu kakak ku. Aku di belakanya, di samping ibu. Kakak ku yang lain, sibuk denganurusan masing-masing. Mengobrol tanpa henti. Sampai-sampai aku tak tahu dimana mereka rehat sejenak untuk mengambil nafas.
Kata ibu ku, kami akan pergi ke Medan. Tempat ia dulu menghabiskan masa kecilnya. Langit siang itu sangat padat dengan awan. Putih semua. Aku bayangkan diriku adalah gadis cupid kecil yang hendak kembali ke rumahnya, di awan.
Aku sangat senang, duduk di samping ibu sampai kaki ku tak henti-hentinya aku goyang-goyangkan naik turun di kursi pesawat. Wajah ibu begitu lugu. Sepertinya dia juga senang duduk di sampingku. Dia juga bilang akan bercerita banyak kepadaku. Iya ibu, aku akan mendengar ceritamu sampai habis.
Kusandarkan bahuku di jok burung terbang ini. Nyaman. Kututup mataku dan kubayangkan hal yang indah-indah pada saat mendarat nanti di Polonia. Mungkin aku akan bertemu para sepupuku, yang belum pernah sekalipun ku lihat.
Tapi, tiba-tiba aku terbangun. Bahuku terguncang. Aku pikir ibu membangunkan aku kerna posisi tidurku yang tak benar. Tapi tidak, ternyata semua orang juga merasakan hal yang sama. Semua orang terguncang. Semua orang menjerit dan pontang-panting kembali ke joknya masing-masing. Aku melihat ibu dengan panik mengencangkan sabuk pengamanku. Sangat kencang hingga perutku sakit. Suara lembut yang aku rasa juga ketakutan, tiba-tiba terdengar. Dia menyuruh semua penumpang untuk tidak panik dan kembali ke tempat duduknya. Yah, terlambat. Semua telah panik dan menjerit. Kecuali aku. Aku benar-benar bingung, harus apa? Menangis kah? Ikut menjerit kah? Atau tidur saja sampai keadaan semua aman?
Tanganku terasa hangat.
Ternyata genggamanku tergenggam lagi. Tangan ibu. Dibalik wsjsh pucatnya, ia tersenyum padaku. Sekilas kupandang. Membuatku tenang.
Hkkzz!!
Semua gelap.
Pelukan Ibu terasa. Erat sekali hingga dadaku sesak. Dunia berputar atau entah apa.
Mataku terpejam. Tak melekukan apa-apa. Yang aku lakukan hanya berhitung. 1 hingga 10. Begitu seterusnya. Teriakan-teriakan itu histeris. Dalam hitungan terakhir, menjadi sepi. Oh tidak, sepi setelah sebuah ledakkan keras yang melonggarkan pelukan Ibu di tubuhku.
Semua hening tanpa suara. Yang kudengar hanya detak jantungku yang berdegup sangat kencang. Tak lam, suara isak tangisku. Ya..aku ingat aku menangis. Kakiku sakit sekali saat itu. Terhimpit sebuah benda yang sepertinya menembus kulit tipisku. Dan tangan ibu, tak menggenggamku lagi.
Aku membuka mata. Gelap. Aku berkedip, kini nanar. Aku masih mennagis. Ibu...dalam hati. Bau ibu masih ada. Tapi, kini amis...
Ibu tertidur di hadapanku dengan wajah yang berdarah. Ayah terdudur di sampingku dengan wajah yang berdarah. Kakak terbaring di sampingku dengan mulut yang berdarah. Kakak yang lain menjauh dariku dengan...apa itu? Tangan yang berdarah? Itu seperti tangan, tapi mengapa terpisah dari tubuhnya?
Semua berdarah. Semua tertidur. Hanya aku yang menangis....


21 Oktober 2005

....mungkin....seingat aku...
Jubah putih. Tas kerja. Bayangan itu ada di cermin ruang tamu ku setelah aku menguci rapat sedan hitamku. Bayanganku akan sebuah meja dengan susunan lilin yang menyala, terus terngiang tanpa henti. Disambut dengan gelak tawa anankku... Orel, seingat aku itu namanya, dan kecupan suamiku. Tapi aku lupa namanya.
2 minggu aku dinas ke Singapura. Hanya ikut seminar dan kunjungan pembukaan rumah sakit baru. Kerinduan begitu mendalam. Bahkan aku berjanji membelikan viagra impor dari Singapura. ”Love u forever.” SMS terakhir dia, saat aku nyalakan kembali ponselku selepas turun dari pesawat. Dia...ah, aku masih lupa namanya, lelaki yang tidak bisa aku lupkan dalam hidupku. Dia melamarku di depan semua rekan kerjaku. Di depan semua pasienku. Bahkan di depan mayat-mayat yang tertidur tenang di kamar sebelah. Semua bertepuk tangan dan memaksaku untuk menerimanya. Ah...aku ingat. Ini memang kenangan yang indah. Ia menyematkan cincin di jariku. Menariknya lalu mengecup lembut tanganku. Aku ingat, wajahku memerah. Pernikahan pun terjadi. Orang-orang begitu banyak dengan lonceng gereja yang berteriak kegirangan. Ia menciumku. Mencium bibirku untuk pertama kalinya. Setelah itu... Tak lama Orel lahir... Ya anakku prematur. Hanya 7 bulan dalam kandungan. Tapi untungnya dia sehat karena ASI ku tak berhenti mengalir selama 2 tahun lebih.
Hhh... kini dia sudah besar. Dan siap menyambutku di depan kamarnya.
”Sayang...kamu dimana?” Aku melihat jam, setengah 11 malam. Mungkin di asudah tidur di atas.
Aku menaiki tangga perlahan. Tak sabar, aku ingin memberinya kejutan mini robot X-men. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamarku sendiri. Suamiku juga pasti telah menunggu di dalam.
Aku ingat....aku tidak mengetuknya. Kubuka perlahan...perlahan....Apa ini?
Cairan. Seperti darah yang bercampur air berceceran di sekitar seprai yang berantakkan. Jantungku langsung memberontak. Mulutku kaku tanpa kata-kata.Kujatuhkan tas kerja dan koper itu, dan kulihat di akeluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Maksudku, mereka....
Kami terdiam. Terpaku. Saling bertatapan dingin. Menunggu siapa yang akan menjelaskan ini terlebih dahulu. Tanpa berfikir panjang, kulempar asbak penuh puntung rokok yang tergeletak tak jauh dari tanganku ke wajah wanita itu. ”Jalaaang!” teriakku parau.

”Dia mengigau. Tekanan darahnya tak stabil. Tenangkan dia.”

Suara itu terdengar samar. Tapi tak aku pedulikan.
Kulanjutkan ingatanku...
Sampai mana tadi? Aku bahkan tidak ingat.
Yang kutahu, aku berada dalam pesawat, lalu... bukan! Aku berada di kamarku. Setelah menaiki tangga dan mencium suamiku. Tidak, aku tidak menciumnya. Tapi aku mencabut pisau buah dan menancapkan ke tengah dadanya...
Aku membunuhnya!
Apa iya?
Mungkin saja, karena kini tubuhnya terbujur kaku di pangkuanku.
Yang aku ingat. Aku tidak menangis. Tapi mengapa ada isakan tangis yang muncul dari sela pintu.
Orel?
Air matanya mengalir deras. Tubuh kecilnya gemetar dan bibirnya bergerak tipis mengucapkan kata ”mama...”
Spontan aku berdiri dengan baju yang berlumuran darah.
”Sayang....mama.....”
Ia berbalik. Lalu berlari. Kakiku bergerak, beranjak untuk mengejarnya. Baru separuh jalan, aku di ambang pintu. Dia telah berlari terlalu jauh. Jaud... dan kini terbujur di bawah tangga dengan wajah yang berdarah.
Nafasku tertahan.
Semua terdiam. Semua tertidur. Orel...suamiku (yang namanya masih aku lupa)...wanita jalang itu.... Semua berdarah. Semua tertidur. Hanya aku yang menangis....

Bising sekali ruangan ini.
Orang-orang berseragam putih mengitariku. Menatapku dengan aneh dan beberapa yang lain menjamah dada dan perutku seenak hatinya.
Dari mana aku? Aku merasa lelah sekali.
Tubuhku, otakku. Seperti mesin pabrik yang dinyalakan seharian tanpa istirahat.
”Kau...kau...sudah...sudah...sadar...sadar...?” suara itu terdengar menggema. Aku jawab ya, dalam hati. ”Tenang, pendarahan di tanganmu sudah terhenti. Lain kali, berhati-hatilah dengan pecahan cermin, itu tajam Asya....”
Asya? Namaku Asya? Aku bahkan belum ingat kalau namaku Asya. Tapi dia mengingatkan aku. Pecahan cermin? Aku ingat sedikit. Tanganku. Aku ingat aku menggores nadiku sendiri. Dan aku tidak sadrkan diri.
Tapi, aku ingat semuanya. Mungkin hampir semuanya, bukan semuanya.
Ayah, ibu, kakak, kakak, kakak, suamiku, Orel, wanita jalang itu, semuanya berdarah.
Aku di sini karena mereka. Aku, dr.Asya. Spesialis kandungan lulusan Jerman.
Aku wanita yang pintar, cantik, hanya sedikit pelupa. Tapi aku juga seorang pembunuh.
Dan aku...aku ingat sekarang...
Aku wanita cantik yang gila... Gangguan jiwa. Karena itu... Ya, Aku ingat sekarang. Aku gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar