Jumat, 04 September 2009

resensi_SOLILOQUY



KESEDERHANAAN YANG MEWAH....

Mungkin itu yang dapat saya artikan dari perjalanan singkat menikmati Soliloquy. Novel yang awalnya saya kira adalah hanya novel permainan diksi dalam pengungkapan diri dan isi pikiran yang folosofis, ternyata menjadi sebuah cerita cinta yang biasa saya bilang 'cerita cinta bunuh diri!!'. Sempat menarik nafas panjang waktu mencoba menamatinya, hari gini cinta? gumamku. Tapi ternyata, tak sampai 24 jam saya menemukan isi dari aduan cinta sederhana seorang Rimura Arken.


Arken Rimura, yang dulunya bernama Rama Rimura, namanya berubah karena dulu sempat dititipkan pada seorang Jepang oleh orang tuanya, adalah mahasiswa filsafat di Universitas Islam Negeri di Bandung. Pribadinya yang pemerhati namun tertutup membuat kesehariannya selalu diisi dengan pertemuan akrabnya dengan layar komputer, keyboard ataupun sekedar hanya dengan kertas dan pena. Mencurahkan semua pemikiran, perasaan, perdebatan dalam diri, opininya terhadap para pemikir, dosen-dosen filsafat dengan beragam keunikannya, kesehariannya bersama teman-teman satu kontrakannya dan dengan cinta, dengan bahasa yang dalam dan jujur.

Dimulai dari perjalanan panjang masa kecilnya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Keluarganya yang berdiam di Balikpapan tidak pernah mengecap kemewahan ditambah tingkat pendidikan mereka yang rendah. Tak berapa lama juga Ken, panggilannya, ditinggal pergi oleh ayah yang menjadi teladannya karena penyakit komplikasi yang menaun, sampai akhirnya ia harus mengembara ke Bandung dengan bekal yang seadanya karena mendapatkan catatan drop-out dari kampus pertamanya di daerah Surabaya karena terlibat kasus demonstrasi. Misinya hanya satu, dan mulia, melajutkan kuliah.

Kehidupannya di Bandung dijalaninya dengan begitu apa adanya seperti mahasiswa kebanyakan. Tinggal di rumah kontrakan yang seadanya, memiliki base camp tempat berkumpul bersama teman-teman kampusnya, irama Koil serta kesehariannya berteman dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok sebagai luapan segala perasaan yang ia rasakan saat itu. Semua ia tumpahkan pada lembaran catatan puitis yang selalu menjadi pendengar setianya. Hingga kisah cintanya yang tertambat pada Rere, seseorang yang ia sebut dengan sebagai 'perempuan kejora' itu. Mungkin ia menganut paham 'cinta yang terpendam' dengan Rere, namun ia menyebut itu sebagai sebuah 'waktu yang tepat'.

Banyak pemikiran-pemikiran para filsuf yang menjadi pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Mungkin atas dasar ini juga, Ken sering mengulur-ulur waktu untuk mengungkapkan rasa cintanya pada Rere. Alhasil, hanya surat-surat cinta tak tersampaikan yang ia jadikan pengungkapan rasa cintanya pada gadis itu. Merasakan indahnya pendekatan, keriduan, kecemburuan hingga usaha untuk melupakan, selalu mengisi kegalauan hati yang setiap hari menghantuinya. Sampai keputusan itu datang, Ken mengungkapkan cintanya. Namun tidak juga bisa dipastikan anggapan Ken mengenai waktu yang tepat itu akan sesuai dengan anggapan sang waktu itu sendiri, anggapan terhadap kemungkinan dan anggapan hati seorang perempuan. Rere pun menggantungkan cintanya selama beberapa lama. Hingga lulus kuliah, hingga Ken bekerja sebagai editor sebuah majalah, ia terus saja setia menanti jawaban atas keputusan pengungkapan hatinya itu. Hingga akhirnya kenyataan dari pengungkapan cinta yang telah Ken lakukan dengan berjuta pertimbangan dulu, tidak lain adalah pertanyaan tentang kelanjutan dari sebuah kehidupan, dan jawabannya bukanlah dia yang memilih.

Kebanyakan orang berfikir tentang waktu yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan, termasuk seorang manusia seperti Ken. Namun, ta bisa disangkal bahwa hidup itu adalah misteri. Sebuah rahasia yang tak akan pernah diketahui ujungnya jika memang kita belum mengambil sebuah keputusan, dan memang tak akan pernah ada yang kita miliki sebelum kehilangan. Orang bijak juga bilang, orang yang tak berhasil dalam hidup adalah orang yang tak pernah dapat mengambil keputusan. Kita tidak dapat menentukan sebuah waktu yang tepat dibarengi dengan hasil yang kita inginkan jika kita belum siap menjadi seseorang yang bertangung jawab. Karena sebuah keputusan itu bukanlah berhadapan pada benar atau salah, namun keputusan berhadapan pada tanggung jawab dan komitmen setelah memutuskannya, ada pada diri kita.



Bahasa yang penuh akan pemikiran-pemikiran filosofis, romantis namun ringan, menghantarkan kita dalam dunia lain seorang laki-laki. Ken berhasil membuat gertakan pada hati kita bahwa tentang penghargaan akan sebuah perjalanan hidup. Soliloquy benar-benar menginspirasikan tentang sesuatu yang mengalir dan jujur. Bahwa cinta itu ada, cinta itu tertawa, cinta itu menangis, bermimpi, kecewa, memaksa!. Dan cinta itu adalah sakral dan bukan perhitungan. Mungkin memang tak ada yang abadi di dunia ini kecuali Tuhan, namun cinta yang tulus adalah penghantar dari keabadian itu.

1 komentar:

  1. Soliloquy, merupakan refleksi pertama yang maha menarik dari pengalaman-pengalaman yang dialami oleh kawanku, ini adalah fakta lalu bermetafor menjadi suatu kupu2 fiksi yang dapat menikmati putik-putik bunga.

    (ehh ternyata penggemar kawanku ya, rimura arken, baguslah, dia memang pandai melangitkan suatu kisah)

    salam....

    BalasHapus